Suara.com - Terpidana kasus tindak pidana korupsi pengadaan peralatan siar TVRI pada 2002, mantan Direktur Umum TVRI Sumita Tobing berkeras dirinya tidak perlu dieksekusi, lantaran putusan Mahkamah Agung (MA) dianggap batal demi hukum karena berdasarkan surat fiktif.
"Karena alat bukti satu-satunya dari putusan Mahkamah Agung adalah surat fiktif, karena surat fiktif itu batal demi hukum. Jadi pihak kejaksaan itu bukan wewenang mereka, mereka eksekutornya," kata Sumita di Kejaksaan Tinggi Jakarta, Kamis (13/3/2014).
Saat ditangkap Jaksa di kantor pusat JakTV, SCBD, Sumita masih menggunakan seragam JakTV.
Sumita juga pernah menolak dieksekusi pada 2 Mei 2012 dengan alasan ada dua nomor registrasi yang berbeda pada putusan MA, yaitu bernomor registrasi 856 dan nomor registrasi 857.
Atas dua putusan ini, Kejaksaan sempat mengirim surat kepada Mahkamah Agung (MA) untuk meminta fatwa sekaligus menanyakan perihal adanya dua nomor registrasi tersebut.
Adapun MA menjawab secara resmi dengan menyebutkan bahwa surat putusan MA atas nama Sumita Tobing tertuang dalam register perkara Nomor 856K/Pid.Sus/2009 yang telah dikirim ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 24 November 2011.
Surat juga mendapat pengantar dari Panitera Muda Pidana Khusus Nomor 3289/Pan.Pid.Sus/856 K/2009 tanggal 24 November 2011.
"(Hakim MA) Artijo Alkostar tidak membaca (putusan), makanya surat fiktif kesalahan Artijo," dalih Sumita.