AS Jatuhkan Sanksi Bagi Para Pemicu Krisis Rusia-Ukraina

admin Suara.Com
Jum'at, 07 Maret 2014 | 07:48 WIB
AS Jatuhkan Sanksi Bagi Para Pemicu Krisis Rusia-Ukraina
Presiden Amerika Serikat Barack Obama (Shutterstock)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Matamata - Presiden Amerika Serikat Barack Obama siap menjatuhkan sejumlah sanksi kepada mereka yang bertanggung jawab atas intervensi militer ke Crimea, Ukraina. Sanksi yang dijatuhkan berupa larangan bepergian dan pembekuan aset mereka di Amerika Serikat. Obama juga mengatakan bahwa referendum di Crimea yang memberikan kesempatan kepada warga untuk bergabung dengan Rusia, melanggar hukum internasional.

Presiden Obama telah menandatangai surat perintah eksekutif untuk menghukum warga Rusia dan Ukraina yang dianggap bertanggung jawab atas intervensi Rusia. Intervensi militer Rusia ke Ukraina tersebut memicu krisis terburuk antara Amerika dan Rusia sejak berakhirnya Perang Dingin.

Menurut pejabat Gedung Putih, Jay Carney, daftar nama orang yang akan dikenai sanksi belum dikeluarkan, tetapi Presiden Rusia Vladimir Putin tidak ada dalam daftar tersebut.

"Saya tidak tahu batasannya (berapa yang akan dimasukkan dalam daftar-red)," tutur Jay Carney.

Krisis kian memburuk setelah hari Kamis, Parlemen Crimea sepakat untuk bergabung dengan Rusia. Parlemen pun mempersiapkan referendum bagi warganya, untuk mendukung atau menolak keputusan tersebut. Referendum tersebut akan digelar dalam waktu 10 hari.

Keputusan Parlemen Crimea tersebut langsung dikritik keras oleh Obama. Menurut Obama, referendum tersebut melanggar hukum internasional sekaligus konstitusi Ukraina sendiri.

"Segala diskusi untuk menentukan masa depan Ukraina harus melibatkan pemerintah Ukraina yang sah," kata Obama dalam sebuah konferensi pers usai menandatangani surat perintah pemberlakukan sanksi tersebut.

Meski demikian, Obama dan jajarannya menegaskan bahwa sanksi itu bersifat fleksibel dan bisa menyesuaikan, jika ada perubahan sikap dari Rusia. (Reuters)

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI