"Kalau ada bunyi zinggg, warga pada tiarap semua. Kita enggak tahu itu peluru jatuhnya di mana, cuma bisa tiarap saja," kata Rodiah.
Baru setelah waktu Isya, Rodiah diajak orang tuanya pergi dari rumah untuk menyelamatkan diri. Mereka rombongan terakhir dari kampung yang mengungsi.
Kampung Rodiah tergolong masih sepi pada masa itu. Masih banyak lahan kosong, kebun, dan sawah. Seingatnya, hanya ada tiga rumah besar dan beberapa bangunan untuk dikontrakkan.
Ketika lari menyelamatkan diri, Rodiah digendong ibunya. Ia menangis terus.
"Pokoknya jalan sejauh-jauhnya. Saya nangis. Terus digendong emak saya," kata Rodiah. "Kami jalan kaki. Jalan kaki aja kemana pun. Jauh banget sampai Grogol. Soalnya, eggak tahu harus kemana."
Tidak ada informasi apapun kepada warga tentang apa yang terjadi pada malam itu.
Rodiah dan keluarga tak tahu apa-apa, yang ada dipikiran hanya lari sejauh-jauhnya agar tidak terhantam mortir.
Sampai di salah satu ruas jalan, mereka bertemu warga lain yang juga sama-sama ingin mengungsi. Warga memberitahu mortir-mortir tadi berasal dari gudang penyimpanan amunisi di Cilandak KKO yang meledak.
"Kita dikasih tahu orang lain. Orang lain dengar di radio. Soalnya TV kan enggak ada, cuma satu, TVRI," kata Rodiah.
Baca cerita selanjutnya: