Suara.com - Kendati mendapat sorotan dan kecaman keras dari pihak Barat, pemerintah Uganda pada Kamis (6/3/2014), membela pemberlakuan undang-undang (UU) keras terhadap gay. Pihak pemerintah negara Afrika itu beralasan bahwa UU tersebut bertujuan "melindungi" generasi mudanya dari homoseksualitas, sekaligus mencegah berkembangnya ekspos cinta kalangan gay di tengah publik.
UU yang ditandatangani bulan lalu itu pada intinya memperberat hukuman bagi siapa pun yang diketahui menjalani hubungan seks sesama jenis. Hukuman terberat bisa berupa penjara seumur hidup, terutama bagi "homoseksualitas di luar batas", termasuk di antaranya hubungan seks dengan anak di bawah umur, atau pelaku hubungan seks yang positif mengidap HIV. UU ini juga untuk pertama kalinya mengkriminalisasi kalangan lesbian.
Duta Besar Uganda, Christopher Onyanga Aparr, di depan forum pertemuan Dewan HAM PBB (UNHRC), menyatakan bahwa orientasi seksual "bukanlah hak asasi mendasar manusia" sebagaimana disebutkan dalam Deklarasi Universal HAM tahun 1948.
"Penting artinya menggarisbawahi fakta bahwa UU ini tidak bertujuan mendiskriminasi, mendakwa, atau menghukum kalangan homoseksual semata lantaran fakta orientasi seksual mereka. Tapi, UU ini ditujukan untuk melindungi dan menjaga mastyarakat Uganda dari disorientasi sosial," ungkap Onyanga Aparr.
Onyanga Aparr pun mengatakan bahwa hal itu disampaikannya sebagai respons atas sejumlah pernyataan dalam beberapa hari ini dari pejabat senior Swedia dan Amerika Serikat (AS). Untuk diketahui, pada Selasa (4/3) lalu, pejabat Kementerian Luar Negeri AS, Sarah Sewall, mengatakan bahwa keberadaan UU di Uganda, juga Rusia dan Nigeria, telah merenggut hak manusia untuk mencintai secara bebas.
Bahkan, Menlu AS John Kerry pun sempat menyamakan UU baru itu dengan peraturan anti-Semit milik Nazi Jerman dulunya, atau hukum apartheid di Afrika Selatan. Sementara itu, pada Rabu (5/3), pemerintah Swedia menunda pemberian bantuan keuangan ke Uganda, terkait keberadaan UU tersebut. Mereka pun menjadi donor keempat yang melakukan itu terhadap Uganda, setelah Bank Dunia, Norwegia, dan Denmark. (Reuters)