Rizal Ramli: Indonesia Butuh Presiden Canggih

admin Suara.Com
Senin, 24 Februari 2014 | 02:24 WIB
Rizal Ramli: Indonesia Butuh Presiden Canggih
Rizal Ramli dan Didi Soekarno (Foto Twitter @RamliRizal)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Mantan Menteri Perekonomian era Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Rizal  Ramli, mengatakan Presiden Indonesia ke depan harus mampu menciptakan lapangan kerja sebanyak-banyaknya agar rakyat memiliki penghasilan guna memenuhi kebutuhan hidup. Banyaknya jumlah pengangguran, kata Rizal, adalah penyebab 80 persen masyarakat Indonesia belum menikmati arti kemerdekaan yang sebenarnya.

“Pemerintah selalu mengklaim pengangguran kita hanya 6 persen. Apa benar begitu? Apa parameter yang digunakan untuk mengukur sehingga angka 6 persen itu muncul? Amerika saja penganggurannya 8 persen. Eropa 20 persen. Bahkan Italia dan Yunani sampai 25 persen. Kalau digunakan standar international, bahwa hanya mereka yang bekerja minimal 35 jam seminggu saja yang disebut bekerja, maka angka pengangguran Indonesia mencapai 30 persen,” kata Rizal saat memberi Orasi Ilmiah bertema “Prospek Ekonomi Indonesia Masa Depan” di kampus Yayasan Pendidikan al Ma'soem, Rancaekek, Bandung, dalam pernyataan pers.

Untuk bisa menyerap pengangguran sebanyak-banyaknya, kata Rizal, Indonesia harus mampu tumbuh dua digit sedikitnya selama 10 tahun.  Inilah yang dilakukan China yang tumbuh 12-14 persen selama 12 tahun, Jepang 10 persen, dan sejumlah negara maju lainnya.  Dengan hanya mengandalkan pertumbuhan ekonomi 5-6 persen, dipastikan Indonesia tidak akan mampu mengejar ketertinggalan dari  negara-negara maju.

Rizal menambahkan dalam ekonomi makro, tiap 1 persen pertumbuhan ekonomi akan menyerap 400.000 tenaga kerja baru. Jika hanya tumbuh 6 persen, maka tenaga kerja yang terserap hanya 2,4 juta. Padahal, saat ini pertumbuhan pengangguran baru sekitar 2 juta setiap tahun.

“Sudah saatnya kita tidak bangga dengan pertumbuhan 6 persen. Apalagi pertumbuhan itu ditopang dua faktor eksternal, yaitu harga booming komoditas dan masuknya uang panas di pasar finansial. Begitu harga komoditas terkoreksi, dan uang panas berbalik ke negaranya masing-masing, maka kita mengalami empat defisit sekaligus. Yaitu defisit transaksi pembayaran, defisit neraca transaksi berjalan, defisit neraca perdagangan, dan defisit APBN karena jebloknya penerimaan pajak. Ekonomi kita langsung memasuki ‘lampu kuning’,” kata Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia ini.

Menurut dia, kalau Indonesia mau menjadi negara maju dan rakyatnya sejahtera, pemimpinnya harus canggih. Pemimpin yang memiliki visi, karakter, dan kompetensi memecahkan masalah, bukan justru pemimpin yang menjadi bagian dari masalah. Hanya pemimpin yang mau bekerja dengan seluruh hati dan jiwanya  yang bisa membawa Indonesia menjadi lebih baik  di masa depan. Indonesia yang berdaulat dan dihormati bangsa-bangsa lain.

“Indonesia punya semua persyaratan untuk maju dan digdaya. Kalau 80 persen rakyat kita belum menikmati arti kemerdekaan yang sesungguhnya, itu karena pemerintah dan sistem yang diterapkan tidak memihak rakyat. Bahkan kebijakan yang dihasilkan justru menciptakan kemiskinan struktural. Apakah kita harus mendiamkan saja pemerintah yang seperti ini?” katanya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI