MSF telah membuka posko kesehatan di banyak tempat-tempat terpencil, termasuk di Bangui, mengingat orang-orang terlalu takut ke rumah sakit bahkan jika letaknya hanya beberapa ratus meter.
Selama dua pekan terakhir, tim MSF telah melihat puluhan ribu orang yang berasal dari komunitas Muslim di Bangui, Baoro, Berberati, Bocaranga, Bossangoa, Bouca, Bozoum, dan Carnot pergi mengungsi atau dibawa dengan truk ke negara-negara tetangga oleh pasukan bersenjata internasional yang tidak mampu memberikan perlindungan bagi mereka.
Penduduk lainnya telah dievakuasi dari wilayah-wilayah sebelah barat laut negara tersebut ke Bangui dan kini mereka terperangkap dalam tempat-tempat terpencil dan kamp-kamp di mana mereka terus tinggal dalam suasana penuh teror. Ketakutan akan penganiayaan telah mendorong puluhan ribu penduduk sipil dari semua komunitas untuk melarikan diri ke dalam semak-semak, tanpa akses perlindungan maupun bantuan kemanusiaan.
Dampak korban kekerasan telah diperparah oleh kurangnya peningkatan jumlah bantuan kemanusiaan dalam jumlah yang signifikan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang paling mendasar sekalipun. Bantuan di Bangui sangat sedikit dan nyaris tidak ada di luar ibukota.
Distribusi air, makanan, dan tempat tinggal darurat – jenis bantuan kemanusiaan yang paling mendasar – masih sangat kurang. Salah satu contoh yang paling buruk bisa dilihat di bandar undara internasional Mpoko di Bangui, di mana sekitar 60.000 pengungsi tinggal dalam keadaan yang sangat memprihatinkan dengan kurang dari 4 liter air per orang per hari dan kondisi sanitasi yang sangat buruk, hanya beberapa ratus meter dari landasan pacu lapangan terbang.
“Kondisi-kondisi yang amat buruk di bandar udara Mpoko menimbulkan pertanyaan apakah pemberian bantuan yang amat lamban ini merupakan pengabaian yang disengaja yang bertujuan untuk mendorong orang-orang agar tidak tinggal di sini,” ujar Dr. Liu. “Orang-orang harus diberikan pilihan-pilihan nyata. Melihat tingkat kekerasan di Bangui, mereka seharusnya bisa memilih untuk kembali ke rumah atau pergi ke tempat di mana mereka merasa aman. Bantuan harus diberikan di tempat di mana mereka merasa paling aman.”
Meski insiden-insiden keamanan terus menghambat kerja operasional MSF sehari-sehari, pengiriman staf MSF yang ekstensif – lebih dari 2.240 staf internasional dan nasional – dan aktivitas di 16 kota di Republik Afrika Tengah menunjukkan bahwa situasinya cukup memungkinkan untuk menyediakan bantuan kemanusiaan.
“Krisis kemanusiaan yang kami saksikan ini belum pernah terjadi sebelumnya di Republik Afrika Tengah, sebuah negara yang telah diabaikan selama bertahun-tahun,” ujar Dr. Liu. “Mobilisasi harus dilakukan saat ini, bukan dalam waktu satu bulan mendatang, atau enam bulan mendatang. Kami melihat kekejaman terjadi setiap hari. Ini adalah bencana besar yang berlangsung di hadapan para pemimpin internasional. Tidak melakukan respons merupakan sebuah pilihan yang sadar dan disengaja untuk menelantarkan penduduk Republik Afrika Tengah.”