Tirai Baru Demokrasi: Ambang Batas Lenyap, Mahar Politik Merajalela

Reza Gunadha | Muhammad Yasir
Tirai Baru Demokrasi: Ambang Batas Lenyap, Mahar Politik Merajalela
Ilustrasi - Masyarakat berdemonstrasi menolak politik dinasti dan politik uang. (Foto: Ist)

Kita belajar dari pengalaman pemerintahan 10 tahun Jokowi, kan penegakan hukum enggak berjalan dengan baik. Itu saja problemnya, jelas Herlambang.

Suara.com - Keputusan Mahkamah Konstitusi menghapus ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden atau presidential threshold menimbulkan euforia. Banyak yang menilai itu menjadi purifikasi demokrasi yang kekinian didominasi oleh ‘politik mahar’ alih-alih mengandalkan ideologi.

Namun, tak sedikit pula yang skeptis. Sebab, keputusan bernomor 62/PUU-XXII/2024 itu membebaskan partai politik untuk mengusung kandidat mereka sendiri tanpa koalisi, sehingga berpotensi menebarkan benih praktek mahar politik yang lebih luas. 

Dengan setiap partai kini dapat mencalonkan tokoh pilihannya, pasaran politik diprediksi semakin ramai, memperdagangkan tiket pencalonan di bawah sorotan kepentingan dan kapital politik yang tak kunjung usai.

Itulah yang membuat pikiran Ketua DPD Partai Gerindra Jakarta Ahmad Riza Patria membuncah: partai-partai bisa saja melakukan praktik jual beli ‘perahu’ atau ‘tiket’ kepada kandidat yang kebelet maju sebagai capres - cawapres.

Baca Juga: Misi Kemanusiaan Prabowo: Siapkah Indonesia Menampung Pengungsi Gaza?

“Jangan sampai nanti terjadi jual beli tiket untuk capres. Akhirnya kan jadi pragmatis,” kata Riza, pekan lalu.

Isu jual beli tiket politik sebenarnya sudah ada sejak dulu. Pada gelaran Pilpres 2019 misalnya, Sandiaga Uno yang kala itu masih menjadi petinggi Gerindra dituding memberikan mahar politik kepada PAN dan PKS, masing-masing Rp 500 miliar, agar bisa mendampingi Prabowo sebagai cawapres.

Tudingan yang dilontarkan Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Andi Arief itu berawal dari kekesalannya lantaran sang patron–Ketua Umum Agus Harimurti Yudhoyono–urung menjadi pasangan Prabowo. Padahal, si sulung putra SBY awalnya diproyeksikan menjadi cawapres, bukan Sandiaga.

Politik mahar juga terjadi pada level pemilihan kepala daerah. Indonesia Corruption Watch menyebut, jual beli partai pendukung untuk salah satu calon pilkada sudah biasa dilakukan kaum elite. Bahkan, ada pula tawaran parpol untuk menjegal pencalonan seseorang agar tercipta satu calon tunggal.

Berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum RI, terdapat 37 pasangan calon tunggal saat Pilkada serentak 2024. Mayoritas merupakan calon petahana. Ini pula yang menjadi pertimbangan MK menghapus presidential threshold, yakni waswas kalau pilpres hanya diikuti satu pasangan calon.

Baca Juga: Soal Pertemuan dengan Jokowi, Bahlil Tegaskan Jajaran Menteri Satu Komando di Bawah Prabowo

Cuma bisa ngerem