Senang Lihat Orang Susah, Mengenal Crab Mentality dan Gatekeeping di Dunia Kerja

Farah Nabilla Suara.Com
Kamis, 17 April 2025 | 15:07 WIB
Senang Lihat Orang Susah, Mengenal Crab Mentality dan Gatekeeping di Dunia Kerja
Ilustrasi stres di kantor akibat crab mentallity (Pexels)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Fenomena crab mentality dan gatekeeping kembali menjadi sorotan di media sosial X setelah seorang pengguna membagikan pengalamannya tinggal di Amerika Serikat.

Dalam unggahan tersebut, pengguna dengan username @itsTimWijaya menceritakan bahwa para CEO ataupun pendiri perusahaan di sana cenderung terbuka dan responsif.

Bahkan ketika dihubungi melalui pesan langsung di Instagram, mereka sangat antusias untuk membalas pesan tersebut.

Pas tinggal di Amerika, gue sering DM founder/CEO buat minta advice. They always reply back. Namanya "pay it forward" - orang sukses bantu yang baru mulai, karena dulu mereka juga dibantu. Di Indo? Masih main jalur ordal,” tulisnya.

Alhasil, cuitan tersebut langsung menuai beragam reaksi dari pengguna X lainnya, termasuk membandingkan dengan situasi di Indonesia yang dianggap masih banyak bergantung pada jalur orang dalam dan akses terbatas karena budaya crab mentality dan gatekeeping.

Di sini, kombinasi crab mentality dan gatekeeping. Senang liat orang susah. Susah liat orang senang,” komentar akun @txtdaritax.

Apa itu crab mentality dan gatekeeping?

Crab mentality adalah istilah yang menggambarkan sikap iri hati atau keengganan melihat orang lain sukses.

Dikatakan crab mentality karnea perilakunya mirip seperti kepiting dalam ember, dimana ketika ada satu kepiting mencoba keluar, yang lain justru menariknya kembali ke bawah dan kembali masuk ke ember.

Baca Juga: "Crab Mentality" Hantui Kesuksesan Film Jumbo, Apa Artinya?

Saat dianalogikan dalam konteks sosial, fenomena ini terjadi ketika seseorang tidak suka dengan kesuksesan orang lain atau bahkan mencoba menghalangi demi kepentingan pribadinya sendiri.

Tak bisa disangkal, manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial yang cenderung hidup dalam kelompok.

Namun, dalam dinamika kelompok, sering terjadi kompetisi dan itu merupakan hal yang wajar karena bisa menjadi pendorong positif.

Permasalahannya adalah ketika sikap kompetitif tersebut diaplikasikan ke praktik yang kurang tepat hingga muncullah crab mentality.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya crab mentality ini, seperti rendahnya rasa percaya diri, iri hati, keputusasaan, bahkan kondisi seperti depresi juga dapat memperkuat pola pikir crab mentality dalam diri seseorang.

Bahkan, Quran juga memuat perkara ini, tepatnya pada Surah Annisa ayat 32 yang berbunyi:

“Janganlah kamu berangan-angan (iri hati) terhadap apa yang telah dilebihkan Allah kepada sebagian kamu atas sebagian yang lain. Bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan dan bagi perempuan (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan. Mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya.”

Sementara itu, gatekeeping adalah perilaku membatasi akses orang lain terhadap informasi, peluang, atau komunitas tertentu.

Orang yang melakukan gatekeeping cenderung merasa berhak menentukan siapa saja yang dapat masuk ke dalam suatu lingkungan atau mendapatkan akses, baik itu di dunia kerja, hobi, maupun media sosial.

Fenomena ini sering terjadi di lingkungan yang eksklusif, dimana ada seseorang ataupun kelompok yang memegang kendali atas kesempatan, peluang, serta informasi.

Jika memiliki sentimen terhadap orang atau kelompok tertentu, maka kesempatan tersebut tidak akan diberikan sehingga pihak lain tidak akan mendapat kesempatan eksklusif tersebut.

Dalam konteks dunia kerja, gatekeeping bisa terlihat dari praktik rekrutmen yang lebih mengutamakan jalur orang dalam ketimbang kompetensi.

Alhasil, orang-orang yang memiliki kompetensi tidak mendapatkan kesempatan atau peluang untuk berkarier sesuai dengan potensinya karena dikalahkan oleh orang dalam.

Lebih berbahaya lagi ketika gatekeeping berkamuflase menjadi budaya profesional. Misalnya, ketika kritik atau saran dari seseorang diabaikan hanya karena statusnya yang junior atau tidak berasal dari institusi bergengsi.

Kontributor : Damayanti Kahyangan

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI