Rasulullah bersabda kepada seorang wanita yang ibunya meninggal dengan memiliki kewajiban puasa:
"Bagaimana jika ibumu memiliki hutang kepada manusia, apakah kamu akan melunasinya?" Wanita itu menjawab: "Ya." Rasulullah lalu bersabda: "Hutang kepada Allah lebih berhak untuk dilunasi." (HR Muslim).
Dari sinilah muncul pemahaman bahwa puasa yang ditinggalkan oleh orang tua termasuk dalam kategori “hutang spiritual” yang boleh ditunaikan oleh keluarganya sebagai bentuk tanggung jawab dan bakti.
Namun, perlu diketahui juga bahwa jika orang tua yang masih hidup tidak mampu berpuasa karena kondisi medis atau usia yang tidak memungkinkan, maka Islam tidak membebankan anak untuk menggantikannya dengan puasa.
Sebagai gantinya, membayar fidyah menjadi opsi yang sesuai dengan syariat. Fidyah berupa memberi makan kepada orang miskin, dihitung per hari puasa yang ditinggalkan.
Dalam praktiknya, fidyah puasa bisa disalurkan melalui lembaga amil zakat atau langsung kepada orang yang membutuhkan. Besaran fidyah disesuaikan dengan harga makanan pokok di daerah masing-masing, yang biasanya setara dengan satu kali makan siang atau malam.
Kebolehan mengqadha puasa orang yang sudah meninggal ini menjadi solusi bagi banyak keluarga Muslim yang ingin melunasi tanggung jawab ibadah orang tercinta mereka.
Tentu saja, niat dan tata cara pelaksanaannya harus dilakukan dengan penuh kesungguhan, sebagai bentuk ibadah yang bernilai tinggi di sisi Allah SWT.
Dengan demikian, menjawab pertanyaan bolehkah membayar hutang puasa orangtua, jawabannya adalah boleh dan dianjurkan, terutama jika orangtua sudah wafat dan belum sempat menunaikan kewajibannya.
Islam memandang ibadah sebagai amanah yang tidak terputus oleh kematian, dan anak-anak memiliki peran penting dalam meneruskan amal baik orangtuanya.