Suara.com - Buku bukan sekadar kumpulan kertas dengan huruf. Ia adalah jendela dunia, kendaraan imajinasi, dan pintu awal dari perubahan. Sementara pendidikan adalah kunci untuk membuka potensi diri. Keduanya penting, terutama untuk anak-anak yang sedang tumbuh dan belajar mengenali dunia.
Sayangnya, akses terhadap buku dan pendidikan belum merata. Di Indonesia, rasio buku masih jauh dari ideal. Satu buku harus dibagi untuk 90 orang.
Padahal, menurut standar UNESCO, setiap orang semestinya membaca setidaknya tiga buku dalam setahun. Ketimpangan ini paling terasa di luar Pulau Jawa, di mana distribusi buku dan fasilitas perpustakaan masih minim.
Di saat yang sama, banyak anak yang tidak bisa sekolah. Alasannya beragam dari masalah ekonomi, sulitnya akses ke sekolah, hingga minimnya fasilitas pendidikan di sekitar tempat tinggal mereka.
Di banyak daerah, bahkan pojok baca pun sulit ditemukan.
Berangkat dari keprihatinan ini, Busa Pustaka hadir. Sebuah gerakan literasi dan pendidikan yang berbasis di Provinsi Lampung.
Didirikan oleh Adi Sarwono, atau yang akrab disapa Mang Adi, Busa Pustaka berawal dari perpustakaan keliling yang ia rintis pada akhir 2016.
Dari mobil penuh buku, Busa Pustaka kini tumbuh menjadi yayasan.
Mereka tidak hanya menyediakan bahan bacaan, tapi juga dukungan pendidikan dan kegiatan sosial, terutama bagi anak-anak dari keluarga kurang mampu.
Baca Juga: Profil Rumah Literasi: Diduga Selewengkan Uang Donasi, Donatur Tagih Transparansi
“Busa Pustaka menyediakan dukungan biaya pendidikan, mulai dari alat tulis, perlengkapan sekolah, hingga membantu anak-anak yang bekerja sebagai pemilah sampah untuk kejar paket,” ujar Mang Adi.
Tak hanya anak-anak. Mahasiswa juga mendapat dukungan, terutama untuk pembayaran UKT dan kebutuhan tempat tinggal. Prosesnya melalui seleksi, agar bantuan tepat sasaran.
“Saat ini ada yang sedang koas di Fakultas Kedokteran UNILA. Ada juga yang menempuh pendidikan di Pulau Jawa,” tambahnya.
Literasi tetap jadi jantung gerakan Busa Pustaka. Anak-anak diajak untuk mencintai buku sejak dini.
Hasilnya mereka tak hanya membaca. Mereka juga mencipta. Beberapa anak bahkan pernah mengikuti pameran lukisan di Shirokawa Gallery, Jepang—dan akan kembali untuk keempat kalinya tahun ini.
Selain membaca, ada kelas melukis, musik, hingga kelas bahasa termasuk bahasa isyarat. Kelas ini jadi salah satu program rutin. Tujuannya bukan sekadar belajar, tapi juga menanamkan nilai empati dan keberagaman.
“Sejak dini, anak-anak diajak untuk tidak melihat kekurangan satu sama lain, tapi justru belajar dari perbedaan,” kata Mang Adi.
Tahun ini, Busa Pustaka juga membuka kelas bahasa Jepang gratis. Program ini terbuka untuk para volunteer. Syaratnya sederhana selama satu bulan, mereka wajib dua kali mengajar adik-adik di Sekolah Rakyat Busa Pustaka.
Setelah setahun, peserta bisa lanjut ke pelatihan berjenjang. Tujuannya jelas—membuka peluang beasiswa atau pekerjaan di Jepang. Semuanya gratis. Biaya ditanggung oleh Busa Pustaka.
Busa Pustaka tidak berjalan sendiri. Mereka membuka ruang untuk siapa saja yang ingin terlibat. Tidak peduli usia atau latar belakang. Siapa pun bisa menjadi relawan. Siapa pun bisa berdonasi buku.
Cita-cita mereka sederhana, tapi besar. Menjangkau lebih banyak anak. Memberi akses bacaan yang layak. Mendukung pendidikan anak-anak sampai jenjang tertinggi.
“Busa Pustaka ingin terus bergerak untuk banyak anak, khususnya bagaimana anak-anak bisa mendapatkan akses bacaan yang layak dan akses pendidikan yang layak. Busa Pustaka berharap ke depan, selain tentang buku bacaan, juga bisa mendukung anak-anak untuk terus bersekolah atau melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi,” tutup Mang Adi.
Penulis: Kayla Riasya Salsabila