Tak hanya anak-anak. Mahasiswa juga mendapat dukungan, terutama untuk pembayaran UKT dan kebutuhan tempat tinggal. Prosesnya melalui seleksi, agar bantuan tepat sasaran.
“Saat ini ada yang sedang koas di Fakultas Kedokteran UNILA. Ada juga yang menempuh pendidikan di Pulau Jawa,” tambahnya.
Literasi tetap jadi jantung gerakan Busa Pustaka. Anak-anak diajak untuk mencintai buku sejak dini.
Hasilnya mereka tak hanya membaca. Mereka juga mencipta. Beberapa anak bahkan pernah mengikuti pameran lukisan di Shirokawa Gallery, Jepang—dan akan kembali untuk keempat kalinya tahun ini.
Selain membaca, ada kelas melukis, musik, hingga kelas bahasa termasuk bahasa isyarat. Kelas ini jadi salah satu program rutin. Tujuannya bukan sekadar belajar, tapi juga menanamkan nilai empati dan keberagaman.
“Sejak dini, anak-anak diajak untuk tidak melihat kekurangan satu sama lain, tapi justru belajar dari perbedaan,” kata Mang Adi.
Tahun ini, Busa Pustaka juga membuka kelas bahasa Jepang gratis. Program ini terbuka untuk para volunteer. Syaratnya sederhana selama satu bulan, mereka wajib dua kali mengajar adik-adik di Sekolah Rakyat Busa Pustaka.
Setelah setahun, peserta bisa lanjut ke pelatihan berjenjang. Tujuannya jelas—membuka peluang beasiswa atau pekerjaan di Jepang. Semuanya gratis. Biaya ditanggung oleh Busa Pustaka.
Busa Pustaka tidak berjalan sendiri. Mereka membuka ruang untuk siapa saja yang ingin terlibat. Tidak peduli usia atau latar belakang. Siapa pun bisa menjadi relawan. Siapa pun bisa berdonasi buku.
Baca Juga: Profil Rumah Literasi: Diduga Selewengkan Uang Donasi, Donatur Tagih Transparansi
Cita-cita mereka sederhana, tapi besar. Menjangkau lebih banyak anak. Memberi akses bacaan yang layak. Mendukung pendidikan anak-anak sampai jenjang tertinggi.