Suara.com - Belakangan ini, TikTok di China tengah dibanjiri konten yang cukup mengejutkan. Sejumlah video viral memperlihatkan bagaimana produk-produk dari merek mewah global, seperti Louis Vuitton, Nike, hingga Lululemon, ternyata diproduksi di pabrik-pabrik lokal China.
Morocco World News bahkan menyebut luxury brand tersebut juga meliputi Chanel, Gucci, Prada, Balenciaga, Dior hingga Louis Vuitton.
Padahal, harga jual produk-produk ini di pasar Barat bisa mencapai ratusan hingga ribuan dolar.
Gucci dan Prada telah mengakui bahwa sebagian produk mereka dibuat di China atau negara lain. Mereka melakukannya dengan mengutamakan fleksibilitas. Kendati begitu, dua brand ini memastikan bahwa proses finishing dilakukan di Italia sehingga tetap bisa memasang label "Made in Italy".
Sementara itu, beberapa brand lain belum buka suara soal tudingan ini. Hermes, Chanel, dan LV masih memegang teguh quality control dan prestige-nya dengan mengklaim bahwa produk mereka adalah handmade di Paris, atau fashion core di Italia, atau pula core bags di Eropa dan Amerika.
Dalam video-video tersebut, para produsen dan influencer lokal memamerkan proses manufaktur, bahkan membandingkan harga produksi yang sangat murah dengan harga jual global yang melambung tinggi. Banyak di antara mereka juga menyindir konsumen Barat karena dinilai "tertipu" oleh nilai branding semata.
Cermin Ketegangan Ekonomi Global
Fenomena ini muncul di tengah meningkatnya ketegangan dagang antara Amerika Serikat dan China. Pemerintah AS baru-baru ini meningkatkan tarif impor untuk produk China hingga 145%, yang langsung dibalas oleh Beijing dengan tarif 125% untuk barang dari AS.
Menurut laporan dari Financial Express dan Australian Financial Review, banyak pelaku industri di China memanfaatkan TikTok sebagai senjata diplomasi ekonomi.
Baca Juga: Balas Perang Tarif, China Tegas akan Kurangi Impor Film Hollywood
Lewat video-video viral ini, mereka ingin menunjukkan bahwa China masih memegang peranan penting sebagai "pabrik dunia", bahkan untuk produk-produk yang kerap diasosiasikan dengan kemewahan dan eksklusivitas Barat.
Strategi Soft Power?
Menurut Dr. Kerry Brown, profesor studi China di King's College London, tren ini bisa dilihat sebagai bentuk soft power digital:
"China tidak hanya melawan tarif dengan tarif. Mereka juga melawan persepsi. Lewat TikTok, mereka menyampaikan pesan bahwa merek Barat pun bergantung pada tenaga kerja dan infrastruktur manufaktur China," jelasnya dalam wawancara dengan Wired.
Senada dengan itu, Rebecca Fannin, penulis buku Tech Titans of China, menilai bahwa konten-konten ini bisa jadi dimanfaatkan untuk mempengaruhi opini publik global.
"Ini adalah bentuk kontra-narasi terhadap dominasi merek-merek Barat. Bagi konsumen global, melihat fakta produksi seperti ini bisa mengubah persepsi mereka terhadap nilai asli sebuah produk mewah," ujar Fannin kepada Business Insider.
Barang Asli atau Tiruan?
Namun, sejumlah ahli memperingatkan agar publik tetap waspada. Sebagian video TikTok tersebut diduga berasal dari produsen barang tiruan yang mencoba memanfaatkan isu perang dagang untuk menarik pembeli langsung dari pabrik.
David Sadigh, CEO agensi branding mewah Digital Luxury Group, menyampaikan:
"Ada perbedaan besar antara 'produksi OEM legal' dan pembuatan barang palsu. Tidak semua konten itu merepresentasikan rantai pasok resmi merek global," jelasnya dalam wawancara dengan The Independent.
Fenomena ini menegaskan bahwa TikTok tidak hanya sekadar platform hiburan, tetapi juga medan baru dalam pertarungan geopolitik dan ekonomi. Di tengah perang dagang antara China dan Amerika Serikat, media sosial berubah menjadi senjata untuk mempengaruhi persepsi, memperkuat posisi ekonomi, bahkan mengubah cara konsumen global melihat merek-merek mewah.