Suara.com - Permainan tradisional kini makin jarang terdengar, apalagi dimainkan. Anak-anak lebih sering sibuk dengan gadget mereka, tenggelam dalam game online dan video TikTok. Padahal, permainan seperti petak umpet, congklak, hingga bola bekel pernah jadi bagian penting dari masa kecil banyak orang—menumbuhkan kreativitas, keterampilan sosial, dan rasa kebersamaan.
Kekhawatiran atas hilangnya permainan rakyat inilah yang mendorong munculnya komunitas Traditional Games Returns (TGR). Mereka hadir untuk mengajak anak-anak—dan juga orang dewasa—untuk kembali bermain di luar, mengenal budaya sendiri, dan mengurangi ketergantungan pada gawai.
Founder Traditional Games Returns, Aghnina Wahdini, mengungkapkan bahwa komunitas ini terbentuk pada tahun 2016, berawal dari tugas kuliah untuk membuat kampanye bertemakan I Love Indonesia.

Saat itu, ia melihat bahwa banyak anak-anak yang lebih memilih untuk bermain di warnet atau rental game. Dari situlah, ia memulai gerakan ini, yang kemudian terus berkembang karena melihat masih banyaknya orang yang peduli dengan permainan tradisional.
“Ternyata trennya semakin kesini semakin gawat tentang adiksi gawai. Makanya, kami merasa gerakan ini memang akan selalu relevan sampai kapan pun,” ujar Nina.
Dengan berslogan “Lupakan Gadgetmu, Ayo Main di Luar!”, mereka ingin mengajak anak-anak untuk kembali bermain permainan tradisional agar terhindar dari dampak negatif penggunaan gadget yang berlebihan.
Tak hanya melestarikan permainan tradisional khas Indonesia, komunitas ini juga mengeksplorasi berbagai permainan dari luar negeri.
“Misalnya kayak kemarin ada serial Squid Game, itu kan relevan juga dengan permainan-permainan tradisional yang mirip dengan permainan di Indonesia. Jadi, waktu itu akhirnya coba membuat ddakji, dan coba melihat juga di Korea ada gonggi yang serupa dengan permainan bola bekel,” jelas Nina.
Traditional Games Returns memberikan ruang bagi anak-anak untuk bermain berbagai permainan tradisional, membuat mereka jauh dari gadget sejenak, lalu berinteraksi secara langsung dengan lingkungan di sekitarnya.
Baca Juga: Mengenal Apa Itu Latto-latto atau Clackers Ball: Sejarah dan Cara Bermainnya
Mereka punya berbagai program yang rutin dilakukan. Ada TGR Goes to School yang menyasar pada anak-anak sekolah, mulai dari tingkat PAUD hingga perguruan tinggi. Dalam program ini, permainan tradisional akan dikenalkan melalui pendekatan yang telah disesuaikan dengan umur anak-anak.
Mereka juga mengadakan TGR Workshop, yaitu sebuah kegiatan untuk mengajarkan anak-anak cara membuat permainan tradisional mereka sendiri.
“Misalnya kita ajarin cara membuat telepon kaleng, layang-layang, atau membuat permainan damdas. Jadi, supaya anak-anak itu merasakan bahwa permainan tradisional itu bisa juga dikreasikan sendiri, nggak harus beli,” tambah Nina.
Tak sekadar bermain, mereka juga menjalankan program TGR Care, yaitu sebuah aksi cepat tanggap bencana dan penyaluran bantuan bagi yang membutuhkan. Kegiatan ini rutin diadakan hingga 6 kali dalam sebulan.
Ada juga TGR Jalan-Jalan yang berfokus pada kegiatan-kegiatan di luar sekolah. Dengan bekerja sama dengan pihak hotel, mall, atau tempat rekreasi lainnya, mereka menciptakan ruang baru untuk memperkenalkan permainan tradisional secara luas.
Selain itu, mereka juga aktif di berbagai platform media sosial untuk membagikan informasi dan edukasi seputar permainan tradisional.
Komunitas ini terbuka bagi siapa pun untuk bergabung bersama, baik sebagai tim TGR maupun relawan di kegiatan tertentu. Pendaftaran akan dibuka setahun sekali, biasanya di akhir tahun, dan diinformasikan melalui akun media sosial mereka.
Ke depan, mereka berharap permainan tradisional bisa lebih sering dimasukkan ke dalam pendidikan di sekolah, baik sebagai bagian dari pelajaran atau kegiatan ekstrakurikuler. Dengan begitu, anak-anak bisa mengajak teman sebayanya untuk bermain serta melestarikan permainan tradisional.
“Harapannya, semoga komunitas ini bisa semakin meluas dan bisa membuka banyak cabang lagi di luar Jabodetabek, makin banyak orang yang sadar tentang permainan tradisional, dan permainan tradisional juga nggak dianggap jadul. Pengennya sih, gerakan ini bisa bertahan terus, biar bisa mendampingi lebih banyak masyarakat untuk mengenal permainan tradisional,” tutup Nina.
Penulis: Kayla Riasya Salsabila