Hukum Menghadiri Undangan Acara Khitanan, Ulama Beda Pendapat?

Riki Chandra Suara.Com
Selasa, 08 April 2025 | 21:32 WIB
Hukum Menghadiri Undangan Acara Khitanan, Ulama Beda Pendapat?
Ilustrasi khitanan. [Dok. Antara]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Hukum menghadiri undangan khitanan atau sunat kerap dipertanyakan sebagian umat Muslim. Apalagi, tradisi sunat juga kadang melibatkan syukuran yang mengundang kerabat dan tetangga.

Sebuah riwayat dari Utsman bin Abi al-‘Ash dalam Musnad Imam Ahmad memunculkan tafsir berbeda soal hukum menghadiri acara tersebut di masa Nabi Muhammad SAW.

Dalam ulasan situs resmi Muhammadiyah, Utsman bin Abi al-‘Ash menolak menghadiri undangan sunat. Ketika ditanya alasannya, ia menjawab bahwa di masa Rasulullah SAW, mereka tidak biasa menghadiri acara sunatan.

Bahkan, tidak pernah diundang untuk khitanan. Hal ini menimbulkan pertanyaan, apakah hadir di undangan khitanan memang bukan bagian dari tradisi yang dilakukan Nabi Muhammad SAW?

Riwayat ini memiliki kelemahan pada sisi sanad, karena melibatkan perawi yang dikenal sebagai mudallis, seperti Ibnu Ishaq dan al-Hasan al-Basri.

Selain itu, Ubaidillah bin Talhah yang menjadi bagian dari rantai perawi, hanya diterima bila didukung riwayat lain—yang dalam kasus ini tidak ditemukan. Hal ini membuat status hadis menjadi gharib, dan sulit diklasifikasikan sebagai sahih atau hasan.

Ulama berbeda pendapat dalam memahami hadis ini. Sebagian menganggap pernyataan sahabat seperti Utsman yang menyebut "kami tidak melakukannya di masa Rasulullah SAW" tetap termasuk mauquf.

Namun, sebagian besar ahli hadis, termasuk Ibnu as-Salah, menyatakan bahwa jika seorang sahabat menghubungkan kebiasaan dengan masa Nabi, maka itu bisa dianggap marfu’ secara hukum—yakni dianggap diketahui dan disetujui secara diam oleh Nabi.

Namun, status hadis marfu’ tidak otomatis menjadikannya sahih. Lemahnya sanad tetap jadi kendala utama dalam menjadikan riwayat ini sebagai landasan hukum yang kuat. Oleh karena itu, para ulama merujuk pada dalil lain dalam menentukan hukum menghadiri undangan khitanan.

Terdapat banyak hadis sahih yang menganjurkan, bahkan mewajibkan memenuhi undangan. Di antaranya, sabda Nabi Muhammad SAW:

“Jika salah seorang dari kalian diundang ke jamuan makan, hendaklah ia memenuhinya. Jika ia mau, silakan makan; jika tidak, silakan tinggalkan.” (HR. Muslim)

“Jika salah seorang dari kalian diundang ke walimah, hendaklah ia mendatanginya.” (HR. Bukhari, Muslim)

Hadis-hadis ini menjadi landasan bagi para ulama dalam menetapkan bahwa memenuhi undangan khitanan dianjurkan dalam Islam.

Ulama seperti Ibnu Qudamah dalam kitab al-Mughni menegaskan bahwa kewajiban menghadiri undangan hanya berlaku untuk pernikahan, karena harus diumumkan kepada khalayak, sebagaimana sabda Nabi: “Umumkanlah pernikahan.” (HR. Ahmad)

Sedangkan untuk walimah khitanan, hukumnya adalah sunnah—dianjurkan tapi tidak wajib.

Meski terdapat riwayat dari Utsman bin Abi al-‘Ash yang menyatakan tidak menghadiri undangan khitanan di masa Nabi, hadis tersebut tidak cukup kuat untuk dijadikan pegangan hukum utama.

Dalil yang lebih sahih justru menegaskan bahwa memenuhi undangan khitanan adalah bagian dari ajaran Islam yang dianjurkan.

Dengan demikian, hukum menghadiri undangan khitanan adalah sunnah dan tetap menjadi bagian dari tradisi syukuran umat Muslim hingga kini.

Khitan Dianjurkan Sejak Bayi

Dikutip dari berbagai sumber, khitan merupakan salah satu amalan yang sangat dianjurkan dalam Islam. Praktik ini telah dilakukan sejak zaman Nabi Ibrahim AS yang disebut dalam hadist riwayat Imam Bukhari, bahwa beliau melakukan khitan di usia 80 tahun menggunakan kapak.

Nabi Muhammad SAW menganjurkan khitan sebagai bagian dari fitrah umat Islam. Dalam hadist yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ahmad, Rasulullah SAW pernah bersabda kepada Kulaib:

“Lepaskanlah rambut dosa dan berkhitanlah.” Hadist ini menegaskan pentingnya khitan dalam Islam sebagai bentuk penyucian diri.

Dalil tentang khitan juga diperkuat oleh hadist riwayat Bukhari dan Muslim yang menyebutkan lima fitrah manusia, yakni khitan, mencukur rambut kemaluan, mencabut bulu ketiak, memotong kuku, dan memotong kumis.

Hal ini menunjukkan bahwa khitan bukan sekadar tradisi, tapi juga bagian dari kebersihan dan kesucian yang diajarkan Islam.

Selain hadist, Al-Quran juga memberikan isyarat kuat mengenai pentingnya khitan. Dalam QS. Al-Hajj ayat 78, umat Islam diperintahkan mengikuti ajaran Nabi Ibrahim yang telah disebut sebagai panutan dalam menjalankan agama.

Begitu juga dalam QS. An-Nahl ayat 132, Allah mewahyukan kepada Nabi Muhammad SAW agar mengikuti millah atau ajaran Nabi Ibrahim yang lurus, bebas dari kemusyrikan.

Dari sisi pelaksanaan, tata cara khitan untuk laki-laki dilakukan dengan memotong kulup atau kulit yang menutupi kepala zakar.

Sementara itu, khitan perempuan dilakukan dengan memotong bagian bawah kulit yang menutupi klitoris. Meskipun berbeda cara, keduanya bertujuan untuk menjaga kebersihan dan kesehatan organ intim.

Waktu pelaksanaan khitan pun memiliki anjuran tersendiri. Dalam Islam, sebaiknya khitan dilakukan sebelum anak mencapai usia baligh.

Namun, secara medis, waktu yang paling ideal untuk melakukan khitan adalah saat bayi berusia 3-7 hari. Hal ini bertujuan agar bayi tidak merasakan sakit yang terlalu berat.

Rasulullah SAW pun mengkhitankan cucu-cucunya, Hasan dan Husain, pada hari ketujuh setelah kelahiran. Hal ini sesuai dengan hadist yang diriwayatkan oleh Jabir RA dan Ibnu Abbas RA, bahwa ada tujuh sunnah bagi bayi pada hari ketujuh, salah satunya adalah khitan.

Tujuan utama dari khitan adalah untuk menjaga kebersihan dan kesucian dalam beribadah. Dengan berkhitan, najis seperti sisa air kencing lebih mudah dibersihkan dari tubuh sehingga sholat bisa dilakukan dalam keadaan suci.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI