Mengapa Saudara Sepersusuan Tidak Boleh Dinikahi dalam Islam? Ini Penjelasannya

Suhardiman Suara.Com
Selasa, 08 April 2025 | 15:59 WIB
Mengapa Saudara Sepersusuan Tidak Boleh Dinikahi dalam Islam? Ini Penjelasannya
Ilustari Menikah - Mengapa Saudara Sepersusuan Tidak Boleh Dinikahi dalam Islam? [Antara]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Dalam ajaran Islam, pernikahan merupakan ikatan suci yang diatur secara rinci dalam Al-Qur'an dan Hadist. Salah satu aturan penting yang sering menjadi perhatian adalah larangan menikahi saudara sepersusuan.

Meski tidak memiliki hubungan darah, saudara sepersusuan dipandang dalam Islam sebagai mahram, sehingga pernikahan antara mereka tidak diperbolehkan.

Contoh hubungan saudara sepersusuan yakni jika seorang bayi laki-laki disusui oleh seorang wanita yang bukan ibu kandungnya, maka anak-anak kandung wanita tersebut (baik laki-laki maupun perempuan) menjadi saudara sepersusuan bagi bayi tersebut.

Selain itu, wanita yang menyusui menjadi ibu susuan, suami wanita tersebut menjadi ayah susuan, dan kerabat tertentu dari ibu susuan (seperti anak-anaknya dari suami lain) juga bisa menjadi mahram.

Larangan ini didasarkan pada firman Allah dalam surah An-Nisa ayat 23 yang menyebutkan secara jelas wanita-wanita yang haram dinikahi, termasuk "ibu-ibumu yang menyusui kamu dan saudara-saudaramu sepersusuan".

Ini merujuk pada individu yang memiliki hubungan persusuan, yaitu mereka yang disusui oleh wanita yang sama dalam masa kecil (biasanya dalam dua tahun pertama kehidupan).

Secara lebih rinci, hubungan mahram melalui persusuan (radha’ah) tercipta jika seseorang menyusu dari seorang wanita sebanyak lima kali atau lebih secara langsung (kulit ke kulit) dalam periode dua tahun pertama kehidupannya.

Hal ini berdasarkan hadis Rasulullah SAW, misalnya yang diriwayatkan oleh Muslim: "Persusuan itu menjadikan haram sebagaimana yang diharamkan oleh nasab".

Artinya, hubungan persusuan menciptakan ikatan kekeluargaan yang setara dengan hubungan darah dalam hal larangan perkawinan.

Larangan ini juga meluas ke hubungan seperti bibi atau paman susuan, sesuai dengan kaidah syariat. Tujuannya adalah untuk menjaga ikatan kekeluargaan yang terbentuk melalui persusuan dan mencegah potensi masalah sosial atau biologis dalam perkawinan.

Selain itu, perkawinan antara saudara sepersusuan dapat menimbulkan ketidakharmonisan atau konflik dalam struktur keluarga.

Misalnya, jika dua individu yang dibesarkan sebagai saudara karena persusuan menikah, hal ini bisa mengacaukannya rasa kebersamaan dan batasan yang telah terbangun.

Islam mengutamakan harmoni sosial dan menjaga hubungan antaranggota keluarga tetap suci dari potensi ketegangan semacam itu.

Meskipun saudara sepersusuan tidak memiliki ikatan genetik langsung, ada pandangan bahwa air susu ibu dapat memengaruhi perkembangan anak secara fisik dan psikologis.

Beberapa ulama klasik menyebutkan bahwa persusuan menciptakan "kesamaan substansi" tertentu, sehingga larangan ini juga bisa dipahami sebagai langkah preventif untuk menghindari perkawinan yang terlalu dekat dalam lingkup keluarga susuan, mirip dengan larangan menikahi saudara kandung.

Al-Qur'an secara eksplisit menyebutkan larangan menikahi saudara sepersusuan dalam Surah An-Nisa ayat 23: "…dan saudara-saudara sepersusuanmu…".

Tujuan utama dari larangan ini adalah ketaatan kepada hukum Allah sebagai bentuk ibadah. Islam mengajarkan bahwa setiap perintah Allah memiliki hikmah, baik yang dapat dipahami secara rasional maupun yang diterima sebagai wujud keimanan.

Menjaga Kesucian dan Kehormatan

Hubungan persusuan menciptakan status mahram, yang berarti tidak ada lagi batasan aurat seperti pada non-mahram. Jika perkawinan diizinkan, hal ini dapat menimbulkan kerumitan dalam hubungan antarindividu yang sebelumnya telah hidup sebagai keluarga tanpa hijab atau batasan tertentu. Larangan ini menjaga kesucian hubungan tersebut agar tetap dalam kerangka kekeluargaan.

Secara keseluruhan, tujuan larangan ini adalah untuk melindungi nilai-nilai keluarga, menjaga stabilitas sosial, dan mematuhi ketentuan syariat yang telah ditetapkan Allah SWT. Hikmahnya mencerminkan keseimbangan antara aspek spiritual dan duniawi dalam kehidupan umat Islam.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI