Suara.com - Film horor Pabrik Gula yang sedang tayang di bioskop membangkitkan rasa penasaran publik akan keberadaan salah satu lokasi syutingnya.
Adalah Pabrik Gula Gondang Winangoen, satu bangunan yang tetap berdiri kokoh di Klaten, Jawa Tengah, yang menjadi salah satu lokasi syuting Erika Carlina dan kawan-kawan.
Namun, ketimbang cerita horornya, pabrik yang sudah berhenti beroperasi sejak 2017 ini punya sejarah panjang dan catatan cemerlang di industri gula Tanah Air.
![Pabrik Gula Gondang Winangoen [https://visitjawatengah.jatengprov.go.id/]](https://media.suara.com/pictures/original/2025/04/07/60623-pabrik-gula-gondang-winangoen-httpsvisitjawatengahjatengprovgoid.jpg)
Pabrik Gula Gondang Winangoen bukan sekadar pabrik tua, melainkan saksi bisu perjalanan panjang industri gula Indonesia. Kini, berkat film dokumenter "Pabrik Gula," tempat ini kembali mencuri perhatian banyak orang, mengajak kita menyelami kisah manis sekaligus pahit dalam sejarahnya.
Lahirnya Raksasa Gula di Tanah Jawa
Kisah Pabrik Gula Gondang Winangoen bermula pada tahun 1860, saat NV Klatensche Cultuur Maatschappij mendirikannya dengan pengelolaan di bawah NV Mirandolle Voute & Co yang berbasis di Semarang. Kala itu, tebu layaknya komoditas emas yang membawa keuntungan besar bagi para pemilik modal Belanda.
Lahan-lahan subur di sekitar Klaten diubah menjadi perkebunan tebu, dan Gondang Winangoen pun menjadi pusat produksi gula yang berjaya.
Namun, kejayaan ini tak selalu mulus. Pada dekade 1930-an, dunia dilanda krisis ekonomi global yang turut mengguncang industri gula. Pabrik ini sempat berhenti beroperasi sebelum akhirnya bangkit kembali pada 1935 di bawah pimpinan Boerman dan M.F. Bremmers.
Sejarah mencatat, pabrik ini pernah jatuh ke tangan Jepang pada 1942 saat Perang Dunia II berkecamuk. Nisiko dan Inogaki memimpin pabrik, sementara M.F. Bremmers tetap bertahan membantu pengelolaan.
Baca Juga: Retake 29 Kali, Totalitas Akting Erika Carlina di Pabrik Gula Dipertanyakan
Begitu Indonesia merdeka, pabrik ini diambil alih oleh pemerintah dan dikelola oleh Badan Penyelenggara Perusahaan Gula Negara (BPPGN). Sayangnya, agresi militer Belanda pada 1948 kembali menghentikan produksi.