Suara.com - Pembangunan Masjid Raya Al Jabbar di Kota Bandung kembali menjadi sorotan setelah Gubernur Jawa Barat terpilih, Dedi Mulyadi, mengungkap adanya beban utang dalam proyek ini.
Dalam sebuah unggahan di media sosialnya, Dedi Mulyadi bersama tim transisi Pemprov Jabar membahas sumber dana pembangunan masjid megah yang dibangun pada masa pemerintahan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil.
Biaya Fantastis dan Sumber Dana
Masjid yang berdiri di atas tanah seluas 25,99 hektare ini menghabiskan anggaran mencapai Rp1,2 triliun. Salah satu hal yang mengejutkan publik adalah fakta bahwa sebagian anggaran tersebut berasal dari pinjaman dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).
Menurut informasi yang diungkap Dedi, total pinjaman PEN untuk proyek ini mencapai Rp3,4 triliun, dibagi ke dalam dua termin. Termin pertama sebesar Rp2,2 triliun kini sudah memasuki tahun keempat masa cicilan.
Sementara itu, termin kedua sebesar Rp1,2 triliun baru akan selesai dibayar pada tahun 2029. Dengan skema pembayaran yang ada, Pemprov Jabar harus mencicil sebesar Rp 566 miliar per tahun hingga 2028, dengan sisa cicilan terakhir Rp211 miliar pada 2029.
"Oh jadi Al Jabbar itu dibangun dari dana pinjaman?," tanya Dedi Mulyadi seperti dikutip akun Instagram @bandungunfold pada Kamis (3/4/2025).
"Total utang pokok utangnya Rp3,4 T dibagikan 2 termin," jelas seorang pria dalam video.
Tidak hanya soal utang, biaya pemeliharaan Masjid Al Jabbar juga tak kalah mengejutkan. Pemerintah Provinsi Jawa Barat menyebut bahwa biaya pemeliharaan masjid ini mencapai Rp 42 miliar per tahun.
Baca Juga: Angkot Dilarang ke Puncak saat Libur Lebaran 2025: Siap-Siap Cari Alternatif
"Biaya pemeliharaan per tahunnya Masjid Al Jabbar berapa?," tanya Dedi Mulyadi lagi.
"Al Jabbar itu ada di Rp42 miliar," jawab orang tersebut lagi.
Angka ini pun menuai banyak kritik, baik dari masyarakat maupun warganet di media sosial.
Reaksi Publik dan Kritik Netizen
Setelah fakta-fakta ini terungkap, banyak netizen yang mempertanyakan kebijakan pembangunan masjid dengan dana pinjaman.
Beberapa komentar di media sosial mencerminkan keresahan masyarakat terhadap proyek ini.

"Indonesia sumpah semua sakit, rumah Allah dibangun dengan pinjaman riba kah? Dan itu Rp 42 Miliar per tahun, Allahuakbar!," tulis salah satu netizen.
"Memberi makan orang yang kelaparan jauh lebih baik daripada membangun 1000 masjid. Ngerti sekarang? Ngerti dong, Rp 42 miliar bisa buat makan fakir miskin 20 tahun," komentar pengguna lain.
"Saya Muslim, dan saya rasa tidak ada urgensinya membangun masjid sampai triliunan di Jabar, karena setiap RW sudah ada masjid yang memadai. Perawatan pertahun bisa untuk membangun ruang kelas baru," kata seorang netizen.
"Bagus ini informasi, jadi ketahuan belangnya pemrakarsa masjid yang sebenarnya tidak terlalu penting. Lebih baik merenovasi sekolah atau puskesmas daripada menghabiskan uang untuk proyek seperti ini," tambah yang lainnya.
Pertimbangan Prioritas Pembangunan
Pembangunan masjid yang megah memang dapat menjadi ikon keagamaan dan wisata religi. Namun, ketika sumber dananya berasal dari utang yang harus dibayar dalam jangka panjang, timbul pertanyaan apakah proyek ini benar-benar mendesak dibandingkan kebutuhan lain seperti infrastruktur pendidikan dan kesehatan.
Dedi Mulyadi sendiri menyoroti bahwa beban keuangan yang harus ditanggung Pemprov Jabar ke depannya cukup besar. Dengan anggaran yang sangat besar ini, sebagian masyarakat menilai bahwa dana tersebut lebih baik digunakan untuk keperluan yang lebih mendesak, seperti renovasi sekolah, puskesmas, atau peningkatan kesejahteraan masyarakat yang masih berjuang secara ekonomi.