Suara.com - Menjalankan puasa Syawal atau puasa 6 (enam) kadang membingungkan bagi orang yang memiliki utang puasa Ramadan.
Puasa Syawal dianjurkan dalam syariat Islam yang pahalanya setara dengan puasa setahun bagi orang yang melakukannya.
Sementara ingin mendapatkan pahala puasa Syawal, namun di sisi lain masih memiliki kewajiban untuk mengganti (qadha) puasa Ramadan yang pernah ditinggalkan.
Anjuran puasa enam hari di bulan Syawal berdasarkan salah satu hadis Rasulullah SAW dalam riwayat Imam Muslim, yaitu: Barangsiapa puasa Ramadan, kemudian ia sertakan dengan puasa enam hari dari bulan Syawal, maka ia seperti berpuasa setahun penuh. (HR Muslim).
Melansir NU Online, adapun kewajiban mengganti puasa Ramadan yang pernah ditinggalkan adalah sebagaimana firman Allah SWT dalam Alquran.
Adapun artinya: Maka barangsiapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain. Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin. Tetapi barangsiapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itu lebih baik baginya, dan puasamu itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (QS Al-Baqarah: 184).
Lantas, antara puasa Syawal dan mengganti puasa, manakah yang harus lebih didahulukan?
Imam An-Nawawi (wafat 676 H) dalam salah satu karyanya mengatakan bahwa tidak puasa di bulan Ramadan bisa disebabkan dua hal: Karena uzur atau alasan yang dilegalkan dalam syariat. Karena tanpa uzur (disengaja).
Orang-orang yang tidak puasa Ramadan karena uzur seperti haid, nifas, sakit, perjalanan, lupa niat, makan karena beranggapan sudah masuk waktu buka puasa, wanita menyusui, dan wanita hamil, maka mereka diperbolehkan untuk mengganti puasanya kapan pun, dengan syarat sebelum memasuki bulan Ramadhan berikutnya.
Baca Juga: Bacaan Niat Puasa Syawal Tulisan Arab dan Latin: Jangan Sampai Keliru!
Sedangkan orang yang tidak puasa Ramadan tanpa uzur (disengaja), maka ia wajib langsung menggantinya setelah bulan Ramadan. Ini merupakan pendapat yang sahih menurut mayoritas ulama mazhab Syafi’iyah. (An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarhul Muhaddzab, [Beirut, Darul Fikr: tt], juz VI, halaman 365).