Sejarah dan Makna Ketupat: Tradisi Lebaran yang Kaya Filosofi

Vania Rossa Suara.Com
Selasa, 01 April 2025 | 12:24 WIB
Sejarah dan Makna Ketupat: Tradisi Lebaran yang Kaya Filosofi
Ilustrasi ketupat. (Unsplash)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Lebaran tanpa ketupat, rasanya seperti makan soto tanpa nasi. Kurang lengkap! Hidangan khas ini selalu hadir di meja makan saat Hari Raya Idulfitri, menemani opor ayam, rendang, dan hidangan lezat lainnya. Tapi, tahukah kamu kalau ketupat bukan sekadar makanan biasa? Ada cerita dan makna mendalam di baliknya, lho!

Hidangan berbahan dasar beras yang dibungkus anyaman janur (daun kelapa muda) ini bukan sekadar makanan, tetapi juga simbol budaya yang kaya makna. Mari kita telusuri lebih dalam sejarah dan filosofi di balik ketupat.

Sejarah Panjang Ketupat di Nusantara

Sejarah ketupat di Indonesia diperkirakan dimulai sejak abad ke-15, saat Sunan Kalijaga, salah satu Wali Songo, memperkenalkan hidangan ini sebagai bagian dari dakwah Islam di tanah Jawa. Ketupat kemudian menjadi tradisi yang melekat pada perayaan Lebaran, khususnya di kalangan masyarakat Jawa.

Saat ia menyebarkan agama Islam, ia memperkenalkan tradisi Ba'da Lebaran, melaksanakan salat dan bersilaturahmi sebagai bentuk kebersamaan dan perayaan setelah sebulan penuh berpuasa.

Tradisi ini kemudian berkembang menjadi Ba'da Kupat, sebuah perayaan yang berlangsung selama sepekan setelah lebaran, sebagai simbol syukur dan penghapusan dosa melalui saling memaafkan.

Menurut Prof. Dr. Abdurachman Assegaf melalui akun YouTube pribadinya, kupatan merupakan tradisi khas bangsa Indonesia yang berasal dari kata dalam bahasa Jawa, yaitu "lepat" yang berarti kesalahan.

Dalam tradisi kupatan, yang biasanya diselenggarakan tujuh hari setelah Idulfitri, masyarakat saling mengakui kesalahan atau yang disebut dengan "kalepatan”

Makna ini semakin dalam ketika melihat struktur ketupat itu sendiri, anyaman ketupat yang rumit melambangkan kesalahan manusia.

Baca Juga: Hidangan Lebaran Selain Ketupat Sayur, Tanpa Santan Dan Anti Eneg

Namun, saat ketupat dikupas, bagian dalamnya yang putih mencerminkan hati yang telah bersih setelah saling memaafkan.

Lebih jauh lagi, simpul-simpul anyaman ketupat menggambarkan hubungan sosial yang erat antar sesama manusia, penuh dengan keterkaitan dan persaudaraan.

Ketika ketupat disajikan dan dinikmati bersama keluarga maupun orang lain, hal ini melambangkan kebersamaan dan keberkahan dalam rezeki.

Tradisi ini mengingatkan bahwa berbagi adalah salah satu nilai utama dalam kehidupan bermasyarakat, terutama di momen penuh berkah seperti Idulfitri.

Selain itu, kata "ketupat" juga memiliki empat makna utama yang erat kaitannya dengan tradisi lebaran.

Pertama, "lebaran" yang menandai berakhirnya bulan Ramadan dan masuknya hari kemenangan.

Kedua, "luberan" yang melambangkan berbagi rezeki, di mana umat muslim dianjurkan untuk berderma dan membantu sesama.

Ketiga, "leburan" yang menggambarkan penghapusan dosa melalui saling memaafkan, sejalan dengan esensi Idulfitri sebagai momen kembali ke fitrah.

Keempat, "laburan" yang mencerminkan kebersihan lahir dan batin setelah menjalankan ibadah puasa sebulan penuh.

Dengan segala maknanya, ketupat bukan sekadar makanan, tetapi juga simbol perayaan, kebersamaan, dan pembersihan diri.

Tradisi ini telah diwariskan secara turun-temurun, menjadikan ketupat sebagai bagian tak terpisahkan dari budaya lebaran di Indonesia.

Ketupat di Era Modern: Tetap Eksis dan Bikin Kangen Kampung Halaman

Meskipun zaman terus berubah, ketupat tetap menjadi hidangan wajib saat Lebaran. Aroma daun janur yang khas dan rasa nasi yang gurih selalu berhasil membuat kita bernostalgia dengan kampung halaman. Bahkan, di media sosial, ketupat sering muncul dalam bentuk emoji atau stiker WhatsApp, menunjukkan betapa ikoniknya hidangan ini.

Setiap tahun, ketupat menjadi saksi kebahagiaan, kehangatan keluarga, serta semangat saling memaafkan yang menjadi inti dari Idulfitri.

Hidangan ini mengajarkan nilai-nilai sosial dan spiritual yang terus dijaga dari generasi ke generasi, menjadikannya lebih dari sekadar kuliner, tetapi juga warisan budaya yang penuh makna.

(Mauri Pertiwi)

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI