Suara.com - Salah satu sunah yang dilakukan saat Hari Raya Idul Fitri atau Idul Adha yakni silaturahmi. Aktivitas ini menjadi sarana mempererat persaudaraan, memperkuat ukhuwah Islamiyah.
Selain itu menumbuhkan rasa kasih sayang dengan sesama. Kesunahan silaturahmi di Hari Raya ini dapat dipahami dari komentar Badruddin Al-‘Aini terhadap hadis riwayat Jabir berikut, yang artinya:
"Nabi Muhammad saw ketika hari raya menggunakan jalan yang berbeda (antara pergi dan pulangnya)".
Dalam penjelasannya, tindakan Nabi menggunakan jalan yang berbeda ini memiliki beberapa hikmah. Memiliki pesan yakni untuk mengunjungi keluarga yang masih hidup maupun yang telah wafat serta menjalin silaturahmi.
Badruddin mengungkapkan, yang maknanya, “Ke-15 adalah untuk mengunjungi kerabat yang hidup dan yang mati. Ke-16 karena untuk Silaturahim”. (Badruddin Al-‘Aini, ‘Umdatul Qari Syarh Shahihil Bukhari, [Lebanon, Darul Kutub Al-’Ilmiyah: 2001], juz VI, halaman 443).
Mengingat pentingnya silaturahmi di Hari Raya, terdapat cara utama dalam silaturahmi yang perlu diperhatikan agar nilai pahalanya berlipat ganda, antara lain adalah sebagaimana berikut:
Mengutip laman NU Online, bersilaturahmi dengan keluarga melalui kunjungan yang disertai dengan pemberian hadiah, bukan sekadar berkunjung tanpa hadiah atau hanya memberi salam.
Syamsuddin Ar-Ramli menjelaskan, "Paling tinggi level silaturahmi adalah menyatukan antara kunjungan dan hadiah. Paling tengah-tengahnya adalah hanya melakukan kunjungan. Paling rendahnya adalah hanya memberi salam". (Syamsuddin Ar-Ramli, ‘Umdatur Rabih fi Ma’rifatith Thariq Al-Wadhih, [Beirut, Darul Kutub Al-‘Ilmiyah: 1971], halaman 224).
Dengan demikian, ketika mampu secara finansial maka membagikan harta kepada keluarga, selain melakukan kunjungan, merupakan cara silaturahmi terbaik yang patut dilestarikan di hari raya. Apalagi diberikan kepada keluarga dan yang sangat membutuhkannya.
Baca Juga: Khutbah Idul Fitri Tentang Silaturahmi, Berlebaran Tanpa Gibah
Bagi yang tidak mampu membantu dengan harta ketika silaturahmi, setidaknya bisa membantu menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan yang dibutuhkan pada tuan rumah, tidak hanya datang berkunjung kemudian memberikan beban keluarga yang dikunjungi.
Terkait ini sejalan dengan paparan Syekh Sulaiman Al-Bujairimi:
Artinya, "Maka yang wajib Silaturahim adalah dengan kunjungan dan hadiah. Kalau tidak bisa dengan harta, maka silaturahmi dengan kunjungan dan membantu pekerjaan-pekerjaan yang dibutuhkannya". (Syekh Sulaiman Al-Bujairimi, Hasyiyatul Bujairimi ‘Alal Khatib, [Beirut, Darul Kutub Al-‘Ilmiyah: 1996], juz III, halaman 655).
Kedua, bersilaturahmi sesuai urutan utamanya. Menurut Ashabuna, sebagaimana kutipan Ubai dan As-Sanusi dalam kitab Shahih Muslim wa Ikmalu Ikmalil Mu’allim wa Mukammilu Ikmalil Al-Ikmal, (Mesir, Matba’atus Sa’adah,1328 H:VII/3), silaturahmi disunnahkan sesuai dengan urutan:
- Ibu
- Ayah
- Anak
- Kakek
- Nenek
- Saudara
- Kerabat yang masih mahram, seperti bibi dan paman, baik dari jalur saudara ayah maupun saudara ibu
- Kerabat dari jalur mertua
- Kerabat karena kemerdekaan budak
- Tetangga.
Ibnu Hajar Al-Asqalani menjelaskan lebih rinci bahwa urutan setelah kerabat mahram adalah kerabat yang bukan mahram, kemudian kerabat dari jalur ashabah, kemudian dari jalur mertua, kerabat karena kemerdekaan budak, lalu tetangga. (Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari bi Syarhi Shahihil Bukhari, halaman 417).
Setelah melakukan silaturahmi kepada keluarga yang hidup, maka dilanjutkan kepada keluarga yang meninggal dunia dengan ziarah kubur.
Sebagaimana disebutkan oleh Muhammad bin ‘Alawi Al-Maliki bahwa ziarah kubur kepada ayah, ibu dan keluarga merupakan bentuk silaturahmi yang dianjurkan dalam Islam. (Mafahim Yajibu An Tushahhaha, [Lebanon, Darul Kutub Al-’Ilmiyah: 1971], halaman 22).
Maka, kunjungan kepada keluarga yang bukan mahram dibandingkan yang berstatus mahram, terutama orangtua, merupakan praktik silaturahim yang tidak sesuai dengan keutamaan, karena orangtua, baik ibu maupun ayah, seharusnya menjadi prioritas utama.
Begitu juga mendahului silaturahim kepada ahli kubur daripada keluarga yang masih hidup merupakan cara silaturahmi yang tidak utama.
Apalagi silaturahmi kepada keluarga yang masih hidup hukumnya wajib, sedangkan kepada yang wafat hanya berstatus sunnah.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa cara utama silaturahmi, antara lain adalah selain berkunjung juga bagi-bagi hadiah kepada keluarga.
Serta memperhatikan urutan utama dalam silaturahmi, yaitu dimulai dari orangtua, kemudian keluarga mahram, keluarga yang bukan mahram, kerabat dari jalur ashabah, kerabat dari jalur mertua, kerabat karena kemerdekaan budak, tetangga lalu ziarah kubur.