Arti Tepung Tawar Perdamaian, Tuntutan Dari Sultan Palembang untuk Willie Salim

Farah Nabilla Suara.Com
Rabu, 26 Maret 2025 | 07:00 WIB
Arti Tepung Tawar Perdamaian, Tuntutan Dari Sultan Palembang untuk  Willie Salim
Willie Salim [instagram/@willie27_]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Setelah kontroversi hilangnya rendang 200 kilogram dalam kontennya menjadi perbincangan hangat di media sosial, Willie Salim kini mendapat pernyataan sikap dari Kesultanan Palembang Darussalam.

Dalam Maklumat Sikap Palembang Darussalam oleh YM Sultan Mahmud Badaruddin IV Raden Fauwaz Diradja yang melalui unggahan Instagram @gegenta pada Minggu, 24 Maret 2025, terdapat lima poin yang harus dipenuhi oleh Willie.

Salah satu poin penting dalam pernyataan tersebut adalah permintaan agar ia menjalani tradisi tepung tawar, sebuah ritual adat masyarakat Melayu yang hingga kini masih dilestarikan.

Lalu, apa itu tepung tawar perdamaian?

Tepung tawar perdamaian adalah tradisi adat Palembang yang dilakukan sebagai bentuk penyelesaian konflik setelah terjadinya pertikaian yang menyebabkan seseorang terluka hingga mengeluarkan darah.

Prosesi ini bertujuan untuk meredam amarah, menghilangkan dendam, serta memulihkan hubungan antar pihak yang bertikai.

Sebab, konon katanya jika pihak yang bertikai tidak melakukan tradisi tepung tawar perdamaian, maka mereka akan berkonflik terus-menerus sepanjang hidupnya.

Maka dari itu, dianjurkan bagi keluarga yang berkonflik untuk segera melakukan tradisi tepung tawar perdamaian agar tidak berdampak buruk ke depannya.

Bagaimana praktik tepung tawar perdamaian?

Baca Juga: Konten Rendang Hilang Willie Salim Settingan atau Bukan? Begini Analisa Bobon Santoso

Mengutip dari laman Kemdikbud, praktik tepung tawar perdamaian adalah pihak yang bersalah beserta keluarganya akan datang ke rumah korban dengan membawa makanan simbolis, seperti ketan kunyit, ayam panggang, kembang tujuh warna, dan kue tradisional Palembang.

Jika makanan yang dibawa oleh pihak pelaku diterima oleh keluarga korban dan disantap bersama, maka hal itu menandakan bahwa perdamaian telah tercapai.

Makanan yang disajikan dalam prosesi ini bukan sekadar hidangan, tetapi juga memiliki makna simbolis sebagai bentuk ketulusan dan niat baik dalam menjalin kembali hubungan yang sempat retak.

Proses makan bersama ini mencerminkan bahwa kedua belah pihak telah sepakat untuk mengakhiri permusuhan dan kembali menjalin hubungan sosial yang harmonis.

Setelah prosesi makan bersama selesai, ritual tepung tawar diakhiri dengan doa bersama yang dipimpin oleh seorang tetua adat atau tokoh masyarakat.

Doa ini bertujuan untuk memohon keberkahan serta mengharapkan agar kejadian serupa tidak terulang kembali di masa mendatang.

Sebagai informasi, tradisi tepung tawar perdamaian tidak hanya berfungsi sebagai adat, tetapi juga diakui dalam sistem sosial dan hukum di Palembang.

Bahkan, konsep ini selaras dengan Peraturan Kapolri Nomor 3 Tahun 2015 tentang Pemolisian Masyarakat yang mengutamakan penyelesaian konflik melalui musyawarah dan pendekatan adat sebelum menempuh jalur hukum.

Sejarah tepung tawar perdamaian

Tradisi tepung tawar perdamaian di Sumatera Selatan berakar dari hukum adat yang telah lama diterapkan.

Praktik ini pertama kali tercantum dalam Undang-Undang Simbur Cahaya yang disusun oleh Ratu Sinuhun, istri dari Pangeran Sido Ing Kenayan, penguasa Palembang pada periode 1629-1636.

Sebagai bagian dari sistem hukum adat, tepung tawar perdamaian berfungsi sebagai mekanisme penyelesaian konflik di masyarakat.

Tradisi ini terus berkembang dan tetap dijalankan hingga saat ini sebagai bentuk pelestarian budaya serta cara menjaga harmoni sosial di Sumatera Selatan.

Sebagai informasi tambahan, sejak tahun 2021, tepung tawar perdamaian telah diakui sebagai warisan budaya takbenda Indonesia oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.

Tradisi ini resmi teregistrasi dengan nomor 202101399 dalam kategori adat istiadat masyarakat, ritual, dan perayaan-perayaan.

Pengakuan ini juga menegaskan bahwa tepung tawar perdamaian bukan sekadar praktik lokal, tetapi juga memiliki nilai budaya yang penting dalam menjaga harmoni sosial serta menyelesaikan konflik secara damai di Sumatera Selatan.

Kontributor : Damayanti Kahyangan

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI