Local Brand Winter: Gelombang Surut Brand Lokal, Bagaimana Cara Bertahan?

Bimo Aria Fundrika Suara.Com
Senin, 24 Maret 2025 | 18:05 WIB
Local Brand Winter: Gelombang Surut Brand Lokal, Bagaimana Cara Bertahan?
Ilustrasi [Envato]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Industri brand lokal Indonesia tengah menghadapi Local Brand Winter, masa di mana pertumbuhan melambat, investasi menurun, dan banyak bisnis terpaksa tutup.

Di akhir 2024, persaingan yang semakin ketat membuat brand seperti Syca, Roona Beauty, dan Matoa gulung tikar.

“Seperti fenomena Tech Winter yang dalam beberapa tahun silam melanda perusahaan-perusahaan berbasis teknologi, industri brand lokal juga tengah mengalami fenomena Local Brand Winter, terutama di bidang Kecantikan. Kita melihat dalam waktu kurang dari satu tahun kebelakang, banyak brand lokal kecantikan yang memutuskan untuk berhenti kegiatan operasional. Faktor paling besar adalah kompetisi yang terlalu kuat dari brand luar terutama brand dari Tiongkok.” ujar Achmad Alkatiri, CEO dan Founder dari Hypefast.

Padahal, pada 2021-2023, brand lokal berkembang pesat. Investor mendukung Rose All Day, Base, dan ESQA, sementara Shopee dan TikTok Shop mendorong penjualan. Namun, kini tantangannya semakin besar.

Brand Tiongkok masuk dengan modal besar, mengalokasikan 30-40 persen omzet untuk pemasaran, sementara brand lokal hanya sekitar 10 persen. Akibatnya, enam dari sepuluh konsumen Indonesia bahkan tidak bisa membedakan brand lokal dengan brand asing.

Dampaknya, investor mulai ragu. Sebelumnya, mereka berani mendanai brand lokal, tetapi gelombang penutupan bisnis kini menimbulkan kekhawatiran baru.

Achmad Alkatiri, CEO dan Founder dari Hypefast. (Dok. Istimewa)
Achmad Alkatiri, CEO dan Founder dari Hypefast. (Dok. Istimewa)

“Berbagai brand lokal yang memutuskan untuk tutup di tahun 2024, memberikan sinyal negatif terhadap investor yang pada periode sebelumnya memiliki appetite. Ini akan menurunkan jumlah investasi secara keseluruhan, padahal untuk bisa berkompetisi dengan brand dari Tiongkok yang habis-habisan dalam pemasaran dan produk, dibutuhkan modal yang signifikan. Tanpa hal itu, bukan tidak mungkin, tapi brand lokal harus lebih resilience dalam menyusun strategi.”, ungkap Achmad.

Strategi Bertahan bagi Brand Lokal

Dalam menghadapi kondisi ini, ada beberapa langkah yang dapat diambil oleh brand lokal agar tetap relevan dan bertahan di pasar:

Baca Juga: Kalahkan Prada Hingga Yahoo! Brand Value BRI Melesat Kalahkan Merek Terkenal Dunia

Fokus pada Cash Flow

Banyak pendiri brand lokal masih keliru dalam memahami perbedaan antara profit dan cashflow. Memiliki bisnis yang menguntungkan tidak otomatis berarti memiliki arus kas yang sehat. Profitabilitas hanya mencerminkan keuntungan di atas kertas, sementara cash flow adalah faktor utama yang menentukan apakah bisnis bisa bertahan dari hari ke hari.

Oleh karena itu, pemilik brand harus memastikan arus kas tetap positif dengan merencanakan pengeluaran secara detail, termasuk dalam hal pembelian inventaris dan pengurangan biaya yang tidak perlu. Jika pemahaman tentang cashflow masih kurang, sangat disarankan untuk melibatkan ahli keuangan yang dapat membantu mengelola arus keuangan dengan lebih baik.

Cashflow > Growth

Dalam menjalankan bisnis, terutama bagi brand lokal yang sedang berkembang, banyak pendiri yang terjebak dalam obsesi mengejar pertumbuhan (growth) tanpa mempertimbangkan kesehatan arus keuangan (cashflow). Mengingat tanpa cashflow yang stabil, pertumbuhan yang cepat justru bisa menjadi bumerang.

Ambil Pendanaan Ketika Tersedia

Menunggu valuasi yang lebih tinggi bisa menjadi keputusan yang berisiko, terutama di masa ketidakpastian seperti saat ini. Hypefast mengingatkan bahwa ini bukan waktu yang tepat untuk bersikap idealis terhadap valuasi bisnis.

Jika ada investor yang bersedia memberikan pendanaan, sebaiknya kesempatan ini dimanfaatkan untuk menjaga keberlanjutan bisnis, memastikan arus kas tetap sehat, dan memberikan ruang bagi brand untuk menyusun strategi pertumbuhan yang lebih efektif.

Alkatiri menghimbau brand lokal bahwa tujuan utama sebaiknya bukan sekadar bertumbuh cepat, tetapi mencapai tahap self-sufficient—yakni kondisi di mana bisnis tidak hanya profitable, tetapi juga memiliki cashflow positif. Dengan begitu, bisnis bisa bertahan dalam situasi ekonomi yang sulit dan tidak bergantung sepenuhnya pada investor atau pinjaman.

“Para founder brand lokal harus realistis dalam menghadapi situasi ini. Ini bukan saatnya untuk idealisme berlebihan, tetapi untuk bersiap menghadapi kemungkinan terburuk dengan strategi yang lebih matang,” ujar Tutup Alkatiri.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI