Sejarah THR di Indonesia, Berawal dari Persekot Hingga Menjadi Hak Pekerja

Syaiful Rachman Suara.Com
Senin, 24 Maret 2025 | 06:12 WIB
Sejarah THR di Indonesia, Berawal dari Persekot Hingga Menjadi Hak Pekerja
Ilustrasi Uang - Kesalahan yang Bikin THR Ludes Sebelum Lebaran. [Antara]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Tunjangan Hari Raya (THR), bukan sekadar bonus tahunan, melainkan nadi tradisi yang berdenyut kuat dalam budaya kerja Indonesia. Menjelang hari raya, baik Idul Fitri bagi umat Muslim, maupun hari besar keagamaan lainnya, para pekerja di seluruh negeri menantikan kucuran dana istimewa ini.

THR, layaknya jembatan, menghubungkan jerih payah pekerja dengan kebahagiaan perayaan, menjadi bentuk apresiasi dan dukungan nyata dari perusahaan.

Perjalanan THR dari kebiasaan menjadi hak yang dilindungi hukum adalah bukti nyata perhatian negara terhadap kesejahteraan pekerja.

Pemerintah, sebagai garda terdepan, merumuskan aturan yang jelas dan tegas, serta menjalankan pengawasan ketat untuk memastikan setiap perusahaan mematuhi kewajiban ini. Tujuannya satu, mencegah penyalahgunaan dan memastikan hak pekerja terpenuhi.

Lebih dari sekadar tambahan pendapatan, THR adalah simbol keadilan dan penghargaan. Ia menjadi penyemangat bagi pekerja, meringankan beban ekonomi di tengah lonjakan harga kebutuhan pokok saat hari raya.

Sementara Bagi perusahaan, THR adalah investasi dalam membangun hubungan baik dengan karyawan sekaligus menciptakan iklim kerja yang harmonis dan produktif.

Di balik tradisi THR, terkandung nilai-nilai luhur budaya Indonesia, seperti gotong royong dan kepedulian. THR adalah pengingat bahwa di tengah kesibukan dunia kerja, kita tetap menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan kebersamaan.

Sejarah dan Transformasi Tunjangan Lebaran di Indonesia

Tunjangan Hari Raya (THR), kini menjadi tradisi yang melekat erat dalam budaya kerja Indonesia, ternyata memiliki sejarah panjang yang penuh liku.

Baca Juga: Ancam Demo Besar-besaran Gegara THR Belum Cair, Guru di Gorontalo Siap Duduki Kantor Bupati

Melansir ANTARA, Jejak THR bermula pada tahun 1950, saat Perdana Menteri ke-6 Indonesia Soekiman Wirjosandjojo mencetuskan kebijakan untuk meningkatkan kesejahteraan pamong praja, yang kini dikenal sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS).

Pada masa itu, THR diberikan dalam bentuk uang persekot atau pinjaman awal, dengan tujuan agar para pegawai dapat memenuhi kebutuhan mereka menjelang hari raya. Namun, kebijakan ini menimbulkan ketidakadilan, karena hanya PNS yang berhak menerima tunjangan tersebut. Para buruh merasa diabaikan, dan ketidakpuasan pun memuncak.

Puncak dari ketidakpuasan ini terjadi pada 13 Februari 1952, ketika para buruh melancarkan aksi mogok sebagai bentuk protes. Mereka menuntut hak yang sama seperti PNS, yaitu mendapatkan THR.

Perjuangan panjang dan melelahkan ini akhirnya membuahkan hasil. Pemerintah, setelah mempertimbangkan tuntutan para buruh, memutuskan untuk memberikan THR kepada mereka, menyamakan hak mereka dengan PNS.

Perjalanan THR dari persekot menjadi hak pekerja adalah cerminan dari perjuangan panjang para buruh dalam memperjuangkan kesejahteraan mereka.

Kini, THR bukan hanya sekadar tradisi, tetapi juga hak yang dilindungi oleh hukum, menjadi bagian tak terpisahkan dari perayaan hari raya di Indonesia.

Pada tahun 1994, pemerintah secara resmi mengatur pemberian THR bagi pekerja swasta. Menteri Tenaga Kerja saat itu menerbitkan Peraturan Menteri No. 04/1994 tentang THR Keagamaan bagi pekerja di perusahaan. Aturan ini memastikan bahwa semua pekerja berhak atas tunjangan tersebut.

Regulasi ini kemudian diperbarui pada tahun 2003 dengan terbitnya UU No 13 tentang Ketenagakerjaan. Dalam aturan ini, pekerja yang telah bekerja lebih dari tiga bulan diwajibkan menerima THR.

Selanjutnya, pada tahun 2016, pemerintah menetapkan bahwa THR harus diberikan selambat-lambatnya tujuh hari sebelum hari raya.

THR: Lebih dari Sekadar Tunjangan, Simbol Kebersamaan dan Apresiasi

Seiring berjalannya waktu, Tunjangan Hari Raya (THR) telah bertransformasi menjadi lebih dari sekadar hak pekerja. Makna THR kini meluas, mencakup segala bentuk pemberian menjelang Lebaran, baik kepada pekerja maupun non-pekerja.

Pergeseran makna ini mencerminkan tradisi yang semakin inklusif dan mengakar kuat dalam budaya masyarakat Indonesia.

Tradisi pemberian THR bukan hanya sekadar bentuk apresiasi atas kerja keras, tetapi juga simbol kebersamaan dan gotong royong yang dijunjung tinggi dalam masyarakat Indonesia.

Pemberian THR menjadi momen untuk saling berbagi kebahagiaan dan mempererat tali silaturahmi, menciptakan suasana harmonis di lingkungan kerja maupun masyarakat luas.

Lebih dari itu, THR memiliki peran penting dalam meningkatkan kesejahteraan pekerja dan memperkuat hubungan antara pemberi kerja dan pekerja.

Pemberian THR yang tepat waktu dan sesuai dengan ketentuan dapat meningkatkan motivasi dan produktivitas pekerja, sekaligus menciptakan iklim kerja yang kondusif.

Oleh karena itu, penting bagi semua pihak untuk memahami sejarah dan makna di balik tradisi pemberian THR. Dengan memahami esensi tradisi ini, kita dapat bersama-sama menjaga dan melestarikan praktik baik ini, menciptakan keharmonisan sosial dan ekonomi yang lebih baik di Indonesia.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI