Suara.com - Tunjangan Hari Raya (THR), bukan sekadar bonus tahunan, melainkan nadi tradisi yang berdenyut kuat dalam budaya kerja Indonesia. Menjelang hari raya, baik Idul Fitri bagi umat Muslim, maupun hari besar keagamaan lainnya, para pekerja di seluruh negeri menantikan kucuran dana istimewa ini.
THR, layaknya jembatan, menghubungkan jerih payah pekerja dengan kebahagiaan perayaan, menjadi bentuk apresiasi dan dukungan nyata dari perusahaan.
Perjalanan THR dari kebiasaan menjadi hak yang dilindungi hukum adalah bukti nyata perhatian negara terhadap kesejahteraan pekerja.
Pemerintah, sebagai garda terdepan, merumuskan aturan yang jelas dan tegas, serta menjalankan pengawasan ketat untuk memastikan setiap perusahaan mematuhi kewajiban ini. Tujuannya satu, mencegah penyalahgunaan dan memastikan hak pekerja terpenuhi.
Lebih dari sekadar tambahan pendapatan, THR adalah simbol keadilan dan penghargaan. Ia menjadi penyemangat bagi pekerja, meringankan beban ekonomi di tengah lonjakan harga kebutuhan pokok saat hari raya.
Sementara Bagi perusahaan, THR adalah investasi dalam membangun hubungan baik dengan karyawan sekaligus menciptakan iklim kerja yang harmonis dan produktif.
Di balik tradisi THR, terkandung nilai-nilai luhur budaya Indonesia, seperti gotong royong dan kepedulian. THR adalah pengingat bahwa di tengah kesibukan dunia kerja, kita tetap menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan kebersamaan.
Sejarah dan Transformasi Tunjangan Lebaran di Indonesia
Tunjangan Hari Raya (THR), kini menjadi tradisi yang melekat erat dalam budaya kerja Indonesia, ternyata memiliki sejarah panjang yang penuh liku.
Baca Juga: Ancam Demo Besar-besaran Gegara THR Belum Cair, Guru di Gorontalo Siap Duduki Kantor Bupati
Melansir ANTARA, Jejak THR bermula pada tahun 1950, saat Perdana Menteri ke-6 Indonesia Soekiman Wirjosandjojo mencetuskan kebijakan untuk meningkatkan kesejahteraan pamong praja, yang kini dikenal sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS).