Beban Perempuan Berlipat Ganda Saat Bencana, Ini yang Mesti Diperkuat

Bimo Aria Fundrika Suara.Com
Minggu, 23 Maret 2025 | 13:15 WIB
Beban Perempuan Berlipat Ganda Saat Bencana, Ini yang Mesti Diperkuat
Ilustrasi - Warga melintasi banjir di kawasan Cililitan, Jakarta, Selasa (4/3/2025). ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/agr.
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Perempuan menghadapi risiko lebih tinggi dalam situasi bencana. Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menunjukkan bahwa perempuan memiliki kemungkinan 14 kali lebih besar menjadi korban dibanding laki-laki.

Beban mereka berlipat ganda—selain harus melindungi diri sendiri, mereka juga bertanggung jawab atas keluarga, anak-anak, dan sering kali lansia.

Namun, selama ini kebijakan penanggulangan bencana belum sepenuhnya mempertimbangkan kebutuhan perempuan dan kelompok rentan lainnya.

Deputi Bidang Pemberdayaan Masyarakat, Kependudukan, dan Ketenagakerjaan Bappenas, Maliki, menekankan bahwa perempuan dan penyandang disabilitas masih minim akses terhadap informasi dan pelatihan kesiapsiagaan bencana.

Ilustrasi daerah pesisir di Indonesia yang terkena dampak perubahan iklim. (unsplash.com/@auliamisbahul)
Ilustrasi daerah pesisir di Indonesia yang terkena dampak perubahan iklim. (unsplash.com/@auliamisbahul)

Akibatnya, mereka lebih rentan mengalami dampak bencana dan perubahan iklim.

“Penanganan bencana tidak bisa disamaratakan. Laki-laki, perempuan, lansia, penyandang disabilitas, semua memiliki kebutuhan berbeda,” ujar Maliki dalam lokakarya nasional yang digelar di Jakarta, Jumat (21/3/2025).

Dalam upaya mengatasi kesenjangan ini, BNPB menggelar lokakarya bertajuk Akselerasi Pemberdayaan Perempuan dan Inklusivitas dalam Pengurangan Risiko Bencana bertepatan dengan peringatan Hari Perempuan Sedunia 2025.

Kegiatan ini menyoroti pentingnya pendekatan gender dalam kebijakan kebencanaan agar perempuan dan kelompok rentan bisa lebih berdaya sebagai bagian dari solusi.

Deputi Bidang Sistem dan Strategi BNPB, Raditya Jati, menegaskan bahwa perempuan bukan hanya korban, tetapi juga agen perubahan dalam penanggulangan bencana.

Baca Juga: Ulasan Novel Ronggeng Dukuh Paruk: Antara Cinta, Tradisi dan Tragedi

“Dalam kondisi bencana, peran perempuan justru meningkat. Mereka bukan sekadar kelompok yang harus dilindungi, tetapi juga penggerak utama dalam pemulihan,” ujarnya. Perempuan banyak terlibat dalam dapur umum, pos kesehatan, hingga pendampingan korban. Namun, tanpa kebijakan yang inklusif, kontribusi mereka sering kali terabaikan.

Pemerintah Indonesia dan Australia melalui program bilateral SIAP SIAGA berupaya meningkatkan integrasi kesetaraan gender, disabilitas, dan inklusi sosial dalam sistem penanggulangan bencana.

Langkah ini diharapkan dapat membangun ketahanan yang lebih adil, memastikan perempuan memiliki akses yang sama terhadap mitigasi bencana, dan mencegah mereka menjadi korban paling terdampak di masa depan.

Ketahanan bencana hanya bisa dicapai jika semua kelompok masyarakat dilibatkan. Perempuan, penyandang disabilitas, dan kelompok rentan lainnya harus mendapat akses yang sama dalam pelatihan, infrastruktur siaga, serta perlindungan pasca-bencana.

Data Global

Perempuan dan anak-anak memiliki kemungkinan 14 kali lebih besar untuk meninggal dalam bencana dibanding laki-laki. Data dari Tsunami Samudra Hindia 2004 menunjukkan bahwa dari 230.000 korban jiwa, 70 persen di antaranya adalah perempuan.

Ketimpangan gender dalam berbagai sektor meningkatkan kerentanan perempuan terhadap bencana, melemahkan ketahanan masyarakat secara keseluruhan.

Panduan Bersama PBB tentang Masyarakat Tangguh menekankan bahwa pengurangan risiko bencana harus mempertimbangkan kebutuhan spesifik perempuan dan kesenjangan yang ada. Memberdayakan perempuan dalam mitigasi bencana, dengan mengoptimalkan keahlian lokal dan keterampilan yang kerap tersembunyi, dapat meningkatkan ketahanan masyarakat secara keseluruhan.

Di Indonesia, upaya pemberdayaan perempuan dalam penanggulangan bencana telah membuahkan hasil. UNDP bersama BNPB mendukung tiga mahasiswi dalam mengembangkan sistem visualisasi spasial interaktif untuk membantu masyarakat menghadapi ancaman banjir. Tim perempuan ini menunjukkan bahwa solusi inovatif berbasis teknologi dapat diadaptasi untuk mitigasi bencana yang lebih inklusif.

Dampak ekonomi bencana juga lebih berat bagi perempuan. Di sektor pertanian, data Bank Dunia menunjukkan bahwa petani perempuan lebih rentan dibanding petani laki-laki. Gangguan terhadap sektor ini dapat menghancurkan sumber pendapatan utama mereka, diperparah dengan minimnya akses terhadap rekening bank untuk menyimpan tabungan secara aman saat krisis terjadi.

Masyarakat dapat pulih lebih cepat jika perempuan diberi dukungan untuk bangkit kembali. Inklusi gender dalam kebijakan kebencanaan menjadi langkah penting untuk menciptakan sistem mitigasi yang lebih tangguh dan berkeadilan.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI