Suara.com - Perempuan menghadapi risiko lebih tinggi dalam situasi bencana. Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menunjukkan bahwa perempuan memiliki kemungkinan 14 kali lebih besar menjadi korban dibanding laki-laki.
Beban mereka berlipat ganda—selain harus melindungi diri sendiri, mereka juga bertanggung jawab atas keluarga, anak-anak, dan sering kali lansia.
Namun, selama ini kebijakan penanggulangan bencana belum sepenuhnya mempertimbangkan kebutuhan perempuan dan kelompok rentan lainnya.
Deputi Bidang Pemberdayaan Masyarakat, Kependudukan, dan Ketenagakerjaan Bappenas, Maliki, menekankan bahwa perempuan dan penyandang disabilitas masih minim akses terhadap informasi dan pelatihan kesiapsiagaan bencana.

Akibatnya, mereka lebih rentan mengalami dampak bencana dan perubahan iklim.
“Penanganan bencana tidak bisa disamaratakan. Laki-laki, perempuan, lansia, penyandang disabilitas, semua memiliki kebutuhan berbeda,” ujar Maliki dalam lokakarya nasional yang digelar di Jakarta, Jumat (21/3/2025).
Dalam upaya mengatasi kesenjangan ini, BNPB menggelar lokakarya bertajuk Akselerasi Pemberdayaan Perempuan dan Inklusivitas dalam Pengurangan Risiko Bencana bertepatan dengan peringatan Hari Perempuan Sedunia 2025.
Kegiatan ini menyoroti pentingnya pendekatan gender dalam kebijakan kebencanaan agar perempuan dan kelompok rentan bisa lebih berdaya sebagai bagian dari solusi.
Deputi Bidang Sistem dan Strategi BNPB, Raditya Jati, menegaskan bahwa perempuan bukan hanya korban, tetapi juga agen perubahan dalam penanggulangan bencana.
Baca Juga: Ulasan Novel Ronggeng Dukuh Paruk: Antara Cinta, Tradisi dan Tragedi
“Dalam kondisi bencana, peran perempuan justru meningkat. Mereka bukan sekadar kelompok yang harus dilindungi, tetapi juga penggerak utama dalam pemulihan,” ujarnya. Perempuan banyak terlibat dalam dapur umum, pos kesehatan, hingga pendampingan korban. Namun, tanpa kebijakan yang inklusif, kontribusi mereka sering kali terabaikan.