Suara.com - Publik dibuat mengernyitkan dahi ketika tahu ada beberapa orang yang berbeda cara menyingkat makanan nasi goreng.
Bukan cuma nasi goreng, bahkan nasi padang hingga bakso goreng pun membuat warganet terbelah karena beda persepsi menyingkat.
Warganet di lini masa media sosial X (sebelumnya Twitter) kini terbagi menjadi dua kubu, yakni mereka yang setuju dengan singkatan nasi goreng menjadi nasgor dan kubu lain yang setuju dengan penggunaan nasreng.
"Nasgor ya tolong, bukan nasreng," bunyi salah satu cuitan warganet X di tengah perdebatan.
Sontak, seorang pengguna X yang merupakan seorang pegiat bahasa akademisi di bidang linguistik akhirnya angkat bicara. Sosok tersebut adalah penulis kondang Fauzan Al Rasyid.
Lantas, apa pendapat sosok ahli tersebut terkait singkatan nasgor dan nasreng?
Perspektif ahli linguistik terkait singkatan nasi goreng
Fauzan terlebih dahulu memaparkan bahwa masyarakat lebih umum mengenal singkatan nasgor ketimbang nasreng.
Hal itu dijelaskan lebih lanjut lantaran masyarakat, terutama masyarakat Indonesia cenderung lebih suka menyingkat dengan metode clipping.
Baca Juga: Tak Ada Salahnya Perkenalkan KBBI pada Anak seperti Belajar Bahasa Asing
Secara sekilas, baik singkatan nasgor maupun nasreng sah-sah saja di mata Fauzan.
"Pertanyaannya, mengapa dalam beberapa kasus, seperti nasi goreng, misalnya, ia lebih umum disingkat menjadi nasgor alih-alih nasreng, padahal bakso goreng bisa menjadi basreng (walau basgor ada juga, sih)," cuit Fauzan melalui akun pribadinya.
Namun, ada satu hal yang membuat masyarakat lebih cenderung memilih nasgor untuk menyingkat kata nasi goreng.
Hal tersebut tak lain adalah preferensi fonologis, atau bagaimana masyarakat memilih singkatan yang lebih enak dilafalkan.
Fauzan memaparkan bahwa setiap bahasa, seperti bahasa Indonesia memiliki kaidah fonologis tertentu.
Lebih lanjut dalam penjelasannya, Fauzan memberikan gambaran bahwa bahasa Indonesia memiliki aturan khusus dalam membunyikan kata-kata.
"Tiap bahasa memiliki aturan fonotaktik masing-masing. Fonotaktik adalah aturan tentang kombinasi bunyi yang diperbolehkan dalam suatu bahasa. Aturan ini menentukan kombinasi fonem mana yang diperbolehkan dalam suatu suku kata atau kata," lanjut papar Fauzan.
Fauzan memperoleh temuan dari aturan fonologis tersebut, bahwa masyarakat Indonesia asing untuk melafalkan bunyi 'sr' di tengah kata seperti pada kata nasreng.
"Saya pikir, itu makanya kalau kita bandingkan dengan contoh sebelumnya (nasgor vs. nasreng), mungkin nasreng terasa agak janggal karena /sr/ di tengah kata bukan pola yang sering digunakan dalam bahasa Indonesia," timpal Fauzan.
Berdasarkan aturan fonologis tersebut, tak mengherankan jika nasgor menjadi singkatan yang lebih umum dipakai di masyarakat.
Pelafalan nasreng juga tak mengindahkan pola fonologis yang umum dalam bahasa Indonesia, sehingga terdengar asing.
"Bahasa Indonesia cenderung menghindari kombinasi konsonan yang rumit, terutama di tengah kata. Jadi, kombinasi /sr/ dalam "nasreng" tidak sesuai dengan pola fonotaktik yang umum," pungkas Fauzan.
Terkait beda cara orang menyingkat kata, Fauzan mengatakan hal itu lumrah terjadi.
"Karena sebenernya bahasa itu bersifar arbitrer," jelas Fauzan kepada Suara.com, Rabu (19/3/2025).
Artinya hubungan antara lambang bunyi (kata) dan makna yang diwakilinya tidak memiliki dasar alami atau logis, melainkan ditentukan oleh konvensi atau kesepakatan masyarakat bahasa.
Fauzan menyebut, orang bisa mengacak kata sehingga menciptakan kata baru. Namun, jika dirunut dari sejarah linguistik penuturan orang yang mengacak kata tersebut, menurut Fauzan tidak akan lepas dari kaidah fonotatik yang biasa dituturkan.
"Tapi emang kata yang kita buat itu (kalau dalam konteks singakatan) ngga lepas dari aturan fonotaktik bahasa yang dituturkan. Jadi serandom-randomnya kata baru yang terbentuk, pasti ngga keluar dari aturan fonotaktiknya," jelas Fauzan.
Kontributor : Armand Ilham