Mengungkap Misteri Ketupat: Tradisi Kuno yang Menjelma Jadi Ikon Kuliner Idul Fitri di Indonesia

Syaiful Rachman Suara.Com
Kamis, 20 Maret 2025 | 05:11 WIB
Mengungkap Misteri Ketupat: Tradisi Kuno yang Menjelma Jadi Ikon Kuliner Idul Fitri di Indonesia
Ketupat, hidangan lebaran [pinterest]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Ketupat, di balik anyaman janur yang rapi, tersembunyi keajaiban rasa dan tradisi. Hidangan istimewa yang terbuat dari beras dan dimasak dalam balutan daun kelapa muda, telah lama menjadi ikon perayaan Idul Fitri di Indonesia.

Lebih dari sekadar sajian kuliner yang menggoda selera, ketupat adalah benang merah yang menghubungkan generasi, merajut tradisi yang diwariskan dari masa ke masa.

Namun, tahukah Anda bahwa ketupat bukan hanya sekadar makanan? Di balik kelezatannya, tersimpan makna filosofis dan sejarah yang kaya, yang menjadikannya simbol mendalam dari perayaan Lebaran.

Mari kita selami lebih dalam, apa sebenarnya filosofi yang terkandung dalam ketupat? Bagaimana sejarah kemunculannya di Nusantara? Temukan jawabannya dalam uraian berikut, yang bersumber dari berbagai catatan sejarah dan budaya.

Ilustrasi Walisongo Sunan Kalijaga. [ChatGPT]
Ilustrasi Walisongo Sunan Kalijaga. [ChatGPT]

Asal-usul, Sejarah dan Peran Sunan Kalijaga dalam Memperkenalkan Ketupat di Indonesia

Ketupat telah dikenal di Indonesia sejak abad ke-15, terutama di Pulau Jawa. Makanan ini menjadi bagian dari tradisi Lebaran yang berkembang seiring dengan penyebaran Islam di Nusantara.

Salah satu tokoh yang berperan penting dalam memperkenalkan ketupat sebagai simbol perayaan Idul Fitri adalah Sunan Kalijaga, seorang anggota Wali Songo yang berperan dalam dakwah Islam di Jawa.

Sunan Kalijaga memanfaatkan ketupat sebagai media dakwah dengan menggabungkan ajaran Islam dan budaya lokal. Melalui pendekatan ini, ia memperkenalkan ketupat sebagai simbol perayaan hari raya Islam, yang kemudian semakin dikenal luas pada masa pemerintahan Kerajaan Demak di bawah kepemimpinan Raden Patah.

Penggunaan janur sebagai pembungkus ketupat juga memiliki makna tersendiri. Daun kelapa muda atau janur banyak ditemukan di wilayah pesisir, yang menjadi ciri khas masyarakat pesisir Jawa.

Baca Juga: 5 Tempat Wisata di Lembang Cocok untuk Libur Lebaran, Lengkap dengan Harga Tiket Masuk

Keberadaan janur yang melimpah membuatnya sering digunakan dalam berbagai tradisi, termasuk sebagai pembungkus makanan khas.

Masyarakat pesisir yang terbiasa menggunakan janur dalam makanan mereka turut mendorong Sunan Kalijaga untuk menjadikan ketupat sebagai bagian dari dakwah Islam.

Dengan pendekatan ini, ajaran Islam dapat diterima lebih mudah oleh masyarakat Jawa tanpa menghilangkan unsur budaya lokal yang telah ada sebelumnya.

Sejarawan Agus Sunyoto (2016) menyebutkan bahwa tradisi Lebaran Ketupat merupakan budaya asli Indonesia yang berakar dari ajaran Islam.

Tradisi ini berasal dari salah satu hadis yang berbunyi, "Man shoma ramadhana tsumma atba‘ahu syi’ta minsyawwalin fakaana shama kasiyaamidahron," yang berarti:

"Barang siapa yang berpuasa di bulan Ramadhan, lalu melanjutkannya dengan berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka pahalanya seperti berpuasa selama setahun penuh."

Dalam ajaran Islam, seseorang yang menjalankan puasa Ramadan dan menyempurnakannya dengan puasa enam hari di bulan Syawal disebut kaffah atau kafatan, yang berarti sempurna.

Masyarakat Indonesia kemudian mengadaptasi istilah ini menjadi "kupat" atau "ketupat," sebagai simbol penyempurnaan ibadah puasa.

Oleh karena itu, setelah umat Islam di Indonesia menyelesaikan puasa Syawal, mereka merayakan Hari Raya Ketupat.

Tradisi ini mencerminkan makna kesempurnaan dalam menjalankan ibadah puasa, sekaligus menjadi bagian dari budaya lokal yang terus dilestarikan.

Lapak penjual kulit ketupat di Pontianak. (SuaraKalbar.id/Maria)
Lapak penjual kulit ketupat di Pontianak. (SuaraKalbar.id/Maria)

Makna Ketupat dalam Tradisi Jawa

Dalam tradisi Jawa, ketupat sering diartikan sebagai akronim dari "ngaku lepat" yang berarti mengakui kesalahan, dan "laku papat" atau empat tindakan. Empat tindakan ini merujuk pada:

- Lebaran: Menandakan usainya waktu menjalankan ibadah puasa selama sebulan penuh di bulan Ramadan.

- Luberan: Mengajak untuk saling berbagi limpahan rezeki dengan berzakat dan bersedekah kepada kaum miskin dan mereka yang berhak menerimanya.

- Leburan: Mengakui kesalahan, memohon maaf, dan memberi maaf, sehingga dosa-dosa dan kesalahan pun menjadi lebur.

- Laburan: Mengajak manusia untuk selalu menjaga kesucian lahir dan batinnya.

Tradisi ketupat juga memiliki dimensi sosial yang kuat. Setelah perayaan Idul Fitri, masyarakat saling bertukar ketupat sebagai bentuk silaturahmi dan saling memaafkan, memperkuat ikatan sosial dan kebersamaan.

Di beberapa daerah, tradisi "kupatan" dilaksanakan tujuh hari setelah Idul Fitri, yang menekankan pentingnya menjaga hubungan baik antar sesama.

Dengan demikian, ketupat bukan hanya sekadar hidangan lezat yang menghiasi meja saat Idul Fitri, tetapi juga simbol yang mengingatkan kita akan pentingnya introspeksi, saling memaafkan, dan menjaga kesucian hati dalam menjalani kehidupan.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI