Wakaf Al-Quran Braille: Upaya Dorong Pendidikan Spiritual Inklusif Bagi Komunitas Disabilitas

Bimo Aria Fundrika Suara.Com
Rabu, 19 Maret 2025 | 12:55 WIB
Wakaf Al-Quran Braille: Upaya Dorong Pendidikan Spiritual Inklusif Bagi Komunitas Disabilitas
Ilustrasi - Keutamaan Khatam Al-Quran di Bulan Ramadan. [Antara/ Flickr]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Di Indonesia, akses literasi keagamaan bagi penyandang disabilitas netra (distra) masih terbatas. Menurut data Kementerian Sosial, ada sekitar 11,1 juta orang dengan keterbatasan penglihatan, namun jumlah pengajar Al-Quran braille yang minim serta biaya produksi mushaf yang tinggi menjadi kendala besar dalam mempelajari kitab suci.

Menjawab tantangan ini, PT Garudafood Putra Putri Jaya Tbk (Garudafood) bersama Sekolah Relawan menyalurkan 20 Al-Quran braille untuk pelajar disabilitas netra di Jakarta dan Sukabumi.

Head of Corporate Communication & External Relations Garudafood, Dian Astriana, menegaskan bahwa penyaluran wakaf Al-Qur'an Braille adalah upaya inklusif perusahaan. Langkah ini memastikan setiap individu, termasuk penyandang disabilitas netra (distra), dapat mengakses Al-Qur'an.

Selain itu, program ini juga merupakan bentuk komitmen mereka dalam mendukung pendidikan spiritual dan literasi Al-Qur’an yang setara bagi semua.

Quran Braille. (Dok. Istimewa)
Quran Braille. (Dok. Istimewa)

“Wakaf Al-Qur’an Braille, khususnya untuk adik-adik distra, diharapkan dapat memenuhi kebutuhan spiritual mereka, terutama di bulan suci Ramadan. Ini adalah bagian dari komitmen kami dalam menghargai keberagaman dan menciptakan lingkungan yang lebih inklusif,” ujar Dian Astriana.

Wakaf ini merupakan hasil partisipasi karyawan yang difasilitasi oleh perusahaan. Secara simbolis, penyaluran dilakukan di Sekolah Luar Biasa (SLB) Negeri 7 Jakarta Timur sebagai bagian dari upaya meningkatkan akses literasi keagamaan bagi distra.

Tak hanya memberikan mushaf braille, Garudafood juga menyediakan pendampingan bagi para pelajar dengan bimbingan guru ngaji yang menguasai metode braille.

Kepala SLB Negeri 7 Jakarta Timur, Elda Refni, mengapresiasi inisiatif ini dan berharap dukungan serupa dapat terus berlanjut agar lebih banyak pelajar distra memiliki kesempatan belajar Al-Qur’an.

Momentum Ramadan menjadi waktu yang tepat untuk memperkuat solidaritas sosial. Selain wakaf Al-Qur’an braille, Garudafood juga berbagi dengan anak yatim piatu dan dhuafa serta membagikan ribuan paket takjil.

Baca Juga: Contoh Khutbah Malam Nuzulul Quran Singkat Tentang Keutamaan Membaca Kitab Suci

Upaya ini diharapkan dapat menciptakan lingkungan yang lebih inklusif, di mana setiap individu memiliki akses yang sama terhadap ilmu agama dan kebersamaan di bulan suci.

Sejarah Al-Qur’an Braille di Indonesia

Al-Qur’an Braille pertama kali hadir di Indonesia sekitar tahun 1954. Saat itu, Lembaga Penerbitan dan Perpustakaan Braille Indonesia (LPPBI) menerima kiriman mushaf braille dari Unesco. Namun, Unesco bukan penerbitnya. Al-Qur’an Braille yang dikirim berasal dari Yordania, terbitan tahun 1952.

Keberadaan Unesco dalam distribusi ini bukan kebetulan. Sebagai organisasi PBB di bidang pendidikan dan kebudayaan, Unesco berperan besar dalam standardisasi simbol Braille Arab. Standardisasi ini memungkinkan berbagai karya berbahasa Arab, termasuk Al-Qur’an, untuk ditranskrip ke dalam format braille.

Pada periode yang sama, Malaysia juga menerima hibah mushaf braille dari Yordania. Namun, informasi mengenai penerima pertama di Malaysia masih belum jelas. Identitas mushaf tersebut baru diketahui sekitar tahun 1954 ketika diserahkan ke Sekolah Kebangsaan Pendidikan Khas (SKPK) Princess Elizabeth di Johor Bahru.

Di Indonesia, bukti keberadaan mushaf braille Yordania dapat ditemukan dari stempel LPPBI pada beberapa halamannya. Sayangnya, kondisinya tidak utuh karena kertasnya telah rusak. Beberapa sumber menyebutkan bahwa mushaf tersebut memiliki tanda tangan Syekh Muhammad Syaltut, Rektor Al-Azhar (1958-1963). Namun, tanda tangan itu kini tak lagi ditemukan, sehingga informasi ini masih belum bisa divalidasi.

Jumlah mushaf braille Yordania yang dikirim ke Indonesia tidak diketahui pasti. Jilid yang tersisa dan menjadi bahan kajian adalah jilid VI, yang mencakup 11 surah dari Surah Al-‘Ankabut (juz 20) hingga Surah Az-Zumar (juz 24).

Pada akhir 2014, naskah serupa ditemukan di Bandung. Naskah ini berisi 8 surah, mulai dari Surah Al-Anbiya (juz 17) hingga Surah Al-Qasas (juz 20). Berdasarkan kedua temuan ini, diperkirakan mushaf braille dari Yordania awalnya terdiri dari 30 juz dengan 8 jilid.

Mushaf ini menjadi eksperimen pertama dalam penerapan simbol Braille Arab untuk Al-Qur’an. Meskipun Braille Latin sudah digunakan oleh tunanetra di Bandung, Al-Qur’an Braille sempat tersimpan tanpa banyak diketahui selama hampir dua tahun di LPPBI.

Melihat kondisi ini, pada tahun 1956, seorang pejabat Departemen Sosial bernama A. Arif mengambil inisiatif. Ia membawa mushaf tersebut ke Yogyakarta, yang saat itu dianggap sebagai pusat aktivitas tunanetra. Baru pada tahun 1963, ketika menjabat pimpinan BPPS di Yogyakarta, A. Arif menyerahkan mushaf ini kepada Supardi Abdushomad, seorang tunanetra yang bekerja sebagai juru tik di kantornya.

Langkah ini menjadi titik awal perkembangan Al-Qur’an Braille di Indonesia, membuka akses lebih luas bagi penyandang disabilitas netra untuk mempelajari kitab suci.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI