Sejarah Al-Qur’an Braille di Indonesia
Al-Qur’an Braille pertama kali hadir di Indonesia sekitar tahun 1954. Saat itu, Lembaga Penerbitan dan Perpustakaan Braille Indonesia (LPPBI) menerima kiriman mushaf braille dari Unesco. Namun, Unesco bukan penerbitnya. Al-Qur’an Braille yang dikirim berasal dari Yordania, terbitan tahun 1952.
Keberadaan Unesco dalam distribusi ini bukan kebetulan. Sebagai organisasi PBB di bidang pendidikan dan kebudayaan, Unesco berperan besar dalam standardisasi simbol Braille Arab. Standardisasi ini memungkinkan berbagai karya berbahasa Arab, termasuk Al-Qur’an, untuk ditranskrip ke dalam format braille.
Pada periode yang sama, Malaysia juga menerima hibah mushaf braille dari Yordania. Namun, informasi mengenai penerima pertama di Malaysia masih belum jelas. Identitas mushaf tersebut baru diketahui sekitar tahun 1954 ketika diserahkan ke Sekolah Kebangsaan Pendidikan Khas (SKPK) Princess Elizabeth di Johor Bahru.
Di Indonesia, bukti keberadaan mushaf braille Yordania dapat ditemukan dari stempel LPPBI pada beberapa halamannya. Sayangnya, kondisinya tidak utuh karena kertasnya telah rusak. Beberapa sumber menyebutkan bahwa mushaf tersebut memiliki tanda tangan Syekh Muhammad Syaltut, Rektor Al-Azhar (1958-1963). Namun, tanda tangan itu kini tak lagi ditemukan, sehingga informasi ini masih belum bisa divalidasi.
Jumlah mushaf braille Yordania yang dikirim ke Indonesia tidak diketahui pasti. Jilid yang tersisa dan menjadi bahan kajian adalah jilid VI, yang mencakup 11 surah dari Surah Al-‘Ankabut (juz 20) hingga Surah Az-Zumar (juz 24).
Pada akhir 2014, naskah serupa ditemukan di Bandung. Naskah ini berisi 8 surah, mulai dari Surah Al-Anbiya (juz 17) hingga Surah Al-Qasas (juz 20). Berdasarkan kedua temuan ini, diperkirakan mushaf braille dari Yordania awalnya terdiri dari 30 juz dengan 8 jilid.
Mushaf ini menjadi eksperimen pertama dalam penerapan simbol Braille Arab untuk Al-Qur’an. Meskipun Braille Latin sudah digunakan oleh tunanetra di Bandung, Al-Qur’an Braille sempat tersimpan tanpa banyak diketahui selama hampir dua tahun di LPPBI.
Melihat kondisi ini, pada tahun 1956, seorang pejabat Departemen Sosial bernama A. Arif mengambil inisiatif. Ia membawa mushaf tersebut ke Yogyakarta, yang saat itu dianggap sebagai pusat aktivitas tunanetra. Baru pada tahun 1963, ketika menjabat pimpinan BPPS di Yogyakarta, A. Arif menyerahkan mushaf ini kepada Supardi Abdushomad, seorang tunanetra yang bekerja sebagai juru tik di kantornya.
Baca Juga: Contoh Khutbah Malam Nuzulul Quran Singkat Tentang Keutamaan Membaca Kitab Suci
Langkah ini menjadi titik awal perkembangan Al-Qur’an Braille di Indonesia, membuka akses lebih luas bagi penyandang disabilitas netra untuk mempelajari kitab suci.