Viral 59 Titik Ladang Ganja di Gunung Bromo, Netizen Kaitkan dengan Larangan Penerbangan Drone

Agatha Vidya Nariswari | Dinda Rachmawati
Viral 59 Titik Ladang Ganja di Gunung Bromo, Netizen Kaitkan dengan Larangan Penerbangan Drone
Ilustrasi pemandangan dari atas Gunung Bromo menggunakan drone. [ANTARA FOTO/Muhammad Mada/Spt]

Penggunaan drone di wilayah ini memerlukan izin khusus dengan biaya mencapai Rp2 juta, yang menurut netizen, hanya upaya untuk menutupi keberadaan ladang ganja.

Suara.com - Gunung Bromo yang selama ini dikenal sebagai salah satu destinasi wisata alam terindah di Indonesia, kini tengah diterpa skandal besar. 

Temuan ladang ganja di kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) mengejutkan publik, terutama setelah diketahui bahwa jumlah titik penanamannya mencapai 59 lokasi berbeda.

Kasus ini semakin memicu kecurigaan netizen setelah pihak TNBTS mengumumkan penutupan sementara seluruh aktivitas wisata selama lima hari, mulai 28 Maret hingga 1 April 2025. 

Banyak yang menduga bahwa penutupan ini berkaitan erat dengan skandal ladang ganja yang baru-baru ini terungkap. Spekulasi semakin liar ketika publik mengaitkannya dengan aturan ketat mengenai penerbangan drone di kawasan Gunung Bromo. 

Baca Juga: Bocah SMP Mencuri Uang Orang Tua Rp20 Juta Buat Beli iPhone Teman

Penggunaan drone di wilayah ini memerlukan izin khusus dengan biaya mencapai Rp2 juta, yang menurut netizen, hanya upaya untuk menutupi keberadaan ladang ganja.

Viral 59 Titik Ladang Ganja di Gunung Bromo, Netizen Kaitkan dengan Pelarangan Penerbangan Drone (TikTok)
Viral 59 Titik Ladang Ganja di Gunung Bromo, Netizen Kaitkan dengan Pelarangan Penerbangan Drone (TikTok)

Netizen Berspekulasi: Penutupan dan Larangan Drone untuk Menutupi Fakta?

Di media sosial, netizen ramai mengomentari berbagai kebijakan yang dirasa janggal terkait penutupan sementara dan aturan ketat terhadap penggunaan drone. 

Salah satu teori konspirasi yang ramai diperbincangkan menyebutkan bahwa aturan-aturan tersebut sengaja dibuat agar tidak ada yang bisa mengungkap keberadaan ladang ganja dari udara.

"Yang melarang nerbangin drone & minta membayar patut diduga tahu," tulis @mur****, menyinggung kemungkinan keterlibatan oknum dalam kebijakan tersebut.

Baca Juga: Kejutan Ulang Tahun Nyeleneh, Pria Ini Diberi Sesajen Oleh Temannya

Sementara itu, komentar lain yang lebih tajam datang dari @jan****, yang merinci dugaan pola tersembunyi di balik semua kejadian ini.

"Dilarang drone: takut ketahuan. Wajib pemandu: takut nyasar ke ladang. Tutup sementara: masa panen. Perbaikan: masa tanam. Orang hilang: salah jalan masuk ladang," tulisnya.

Pernyataan ini langsung mendapat respons luas dari warganet lainnya yang juga curiga dengan ketatnya regulasi di kawasan tersebut. Netizen lainnya, juga mempertanyakan alasan pelarangan drone yang dianggap berlebihan.

"Nerbangin drone doang mana ngerusak ekosistem, lagian, parah banget oknum," ucap @zuu****.

Dugaan ini semakin kuat setelah fakta persidangan menunjukkan bahwa ladang ganja tersebut bukan hanya sekadar kabar burung.

Persidangan Mengungkap Jaringan Ladang Ganja di Bromo

Pada Selasa, 18 Maret 2025, Pengadilan Negeri (PN) Lumajang kembali menggelar sidang lanjutan atas perkara ladang ganja di TNBTS. 

Dalam persidangan tersebut, tiga terdakwa yakni Tomo bin Sutamar, Tono bin Mistam, dan Bambang bin Narto saling bersaksi satu sama lain. Ketiganya berasal dari Dusun Pusung Duwur, Desa Argosari, Kecamatan Senduro, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur.

Fakta yang mengejutkan adalah bahwa Tono ternyata merupakan menantu dari Tomo, menunjukkan bahwa penanaman ganja ini bukan hanya dilakukan oleh individu, melainkan melibatkan hubungan keluarga.

Dalam persidangan, ketiga terdakwa mengaku bahwa mereka mendapatkan bibit ganja dari seseorang bernama Edi, yang hingga kini masih buron. 

Edi juga diduga menjadi dalang utama yang menentukan titik-titik penanaman ganja di kawasan konservasi tersebut. Selain itu, segala kebutuhan seperti bibit dan pupuk juga disediakan oleh Edi.

Menariknya, ketiga terdakwa mengakui bahwa mereka tergiur untuk menanam ganja karena dijanjikan sejumlah uang oleh Edi. 

Setiap kali turun ke ladang, mereka diberikan upah sebesar Rp150 ribu. Sementara setelah panen, mereka dijanjikan bayaran Rp4 juta per kilogram ganja yang dihasilkan.

Kasus ini menjadi peringatan besar bahwa kawasan konservasi tidak sepenuhnya aman dari aktivitas ilegal. Netizen pun semakin waspada terhadap berbagai kebijakan yang terlihat mencurigakan.