Suara.com - Berbagi hampers menjelang Hari Raya Idulfitri alias Lebaran menjadi tren yang populer belakangan ini. Jika dulu silaturahmi lebaran identik dengan kunjungan langsung dan membawa oleh-oleh sederhana, kini kebiasaan itu berkembang menjadi pemberian bingkisan dengan kemasan yang menarik.
Tak hanya sekadar bingkisan, hampers juga dianggap mencerminkan perhatian dan kepedulian kepada penerimanya melalui isi yang dikemas dengan menarik.
Alhasil, tren bagi-bagi hampers di waktu lebaran semakin populer dari tahun ke tahun.
Namun, tradisi memberikan hampers sebenarnya memiliki sejarah panjang yang menarik untuk ditelusuri. Bukan hanya untuk buah tangan, tapi kini sudah digunakan sebagai penunjuk status sosial. Lantas, bagaimanakah asal-usul dan makna hampers?
Asal-usul dan Makna Hampers
Merujuk dari laman Kominfo Jatim, penggunaan istilah hampers sudah populer sejak tahun 2000an, ditandai dengan maraknya para penjual bingkisan yang menamai produk mereka dengan hampers.
Dosen Sejarah Universitas Airlangga, Moordiati SS MHum, sebetulnya pemberian bingkisan pada momen-momen tertentu sudah ada sejak zaman kolonialisme yang terus mengalami perubahan dari waktu ke waktu, baik dalam istilah, bentuk, hingga makna yang terkandung.

Pada zaman penjajahan Belanda, pemberian bingkisan hanyalah dilakukan oleh kalangan tertentu karena adanya ketidaksetaraan sosial dan ekonomi yang terjadi pada saat itu.
Bahkan, budaya tersebut semakin sulit dirasakan oleh masyarakat bawah ketika kependudukan Jepang karena harus fokus terhadap kerja paksa.
Seiring berjalannya waktu, pada tahun 1980-an, berbagi bingkisan masih menjadi tren yang berganti istilah menjadi parsel.
Baca Juga: Anti Ribet! Tukar Uang THR Lebaran di BI Tanpa Antre, Cuma Lewat Internet
Awalnya, parsel berisi makanan-makanan khas Lebaran. Namun seiring berjalannya waktu, isi parsel mengalami perubahan, seperti cangkir dan souvenir.