Suara.com - Saat ini umat Islam di seluruh dunia sedang menjalankan ibadah puasa di bulan suci Ramadhan 1446 Hijriah atau 2025 Masehi.
Di bulan ramadhan ini, umat Islam berlomba-lomba menunaikan kebaikan karena pahala yang didapatkan 10 kali lipat dari bulan biasa lainnya.
Maka tak heran, di bulan puasa banyak orang rajin salat berjamaah, membaca Alquran sampai khatam berkali-kali dan juga melakukan sedekah.
Orang yang berpuasa di bulan ramadhan ada larangan untuk makan dan minum, melakukan hubungan seksual, selama waktu fajar hingga terbenamnya matahari.
Namun ada golongan orang yang diberi keringanan untuk tidak berpuasa di ramadhan. Mereka ialah musafir, wania haid dan orang sakit keras.
Terkadang ada juga orang yang sedang sakit tetap ingin berpuasa. Mereka biasanya ingin disuntikkan obat atau vitamin agar tetap bisa kuat berpuasa.
Lalu bagaimana hukumnya suntik di bulan puasa ramadhan, apakah membatalkan puasanya? Ada sejumlah pendapat mengenai hal ini.
Dikutip dari rumaysho, ada perbedaan pendapat ulama mengenai hukum suntik di bulan ramadhan bagi orang yang berpuasa.
1. Suntik Nonmakanan
Baca Juga: Orang yang Tidak Puasa Bolehkah Ikut Lebaran? Ini Penjelasannya
Sejumlah ulama kontemporer memfatwakan bahwa suntikan nonmakanan pada kulit, otot dan pembuluh darah tidak membatalkan puasa. Nonmakanan di sini bisa berarti obat.
Alasan para ulama itu karena yang dimasukkan bukanlah makan dan minuman, juga tidak diartikan sebagai makan atau minum.
2. Suntik makanan pada pembuluh darah
Para ulama berselisih mengenai suntik makanan pada pembuluh darah. Pendapat pertama adalah membatalkan puasa.
Pendapat ini dipilih oleh Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz, dan Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin.
Para ulama ini beralasan suntik semacam ini bermakna makan dan minum dan pasien yang mendapatkan suntikan tersebut sudah mencukupi dari makan dan minum.
Pendapat kedua: Tidak membatalkan puasa. Pendapat ini dipilih oleh Syaikh Muhammad Bakhit, Syaikh Muhammad Syaltut, dan Syaikh Sayyid Sabiq.
Alasannya bahwasanya suntik semacam ini tidak mempunyai pengaruh apa-apa sampai ke bagian dalam tubuh.
Namun hal ini bisa disanggah dengan kita katakan bahwa alasan membatalkan itu bukan karena sesuatu yang masuk dalam tubuh saja lewat jalur yang biasa makanan disalurkan.
Dihukumi sebagai pembatal karena dapat menguatkan badan dan ini dihasilkan dengan injeksi suntik yang mengandung makanan ini.
Pendapat yang lebih kuat dalam hal ini adalah pendapat mayoritas ulama kontemporer yang menyatakan batalnya puasa dengan adanya injeksi suntik yang mengandung makanan.
Dikutip dari website Muhammadiyah, Imam Kasani dari Mazhab Hanafi mengatakan bahwa batasan batal tidaknya puasa seseorang adalah apabila ada sesuatu yang masuk ke dalam tubuh.
Imam Nawawi dari Mazhab Syafi’I menambahkan bahwa batalnya puasa apabila ada benda yang masuk ke dalam rongga perut (jawf)melalui organ tubuh yang berlubang terbuka (manfadz maftuh) seperti mulut, hidup, dubur, dan telinga.
Artinya seseorang dianggap batal puasanya apabila meminum obat-obatan melalui lubang alamiah seperti menggunakan suntikan ke dalam tubuh melalui pori-pori di bawah kulit atau pembuluh darah.
Mayoritas ulama kontemporer berpendapat bahwa menyuntik obat tidak membatalkan puasa, selain karena tidak menghilangkan lapar maupun haus juga prosesnya tidak melalui rongga alamiah.
Kesimpulannya suntik cairan obat yang memiliki efek penyembuhan dari suatu penyakit tidak membatalkan puasa. Sementara injeksi cairan nutrisi yang membuat tubuh tetap bugar merupakan aspek yang masih diperselisihkan para ulama.