Suara.com - Tak terasa puasa Ramadan sudah berjalan memasuki pekan kedua. Hari Raya Idul Fitri akan tiba dalam hitungan hari. Masyarakat sudah mulai melaksanakan tradisi bersih-bersih jelang lebaran.
Tradisi bersih-bersih jelang dapat dikatakan ada dua periode Utama, yakni sebelum menjalankan ibadah puasa dan sebelum menjalankan shalat ied. Bersih-bersih sebelum menjalankan ibadah puasa dilaksanakan untuk menyambut bulan Ramadan. Bersih-bersih menjadi symbol menjernihkan hati dan pikiran sehingga dapat melalui puasa Ramadan dengan kusyuk.
Menjelang puasa Ramadan, umat Islam tidak hanya bersih-bersih rumah, tetapi juga bersih-bersih makam leluhur. Mereka melakukan ziarah dan membersihkan lingkungan makam hingga mengirim doa Bersama. Bersih-bersih makam sebelum Ramadan dinamakan nyadran.
Tradisi bersih-bersih jelang lebaran
Hal yang serupa seperti di atas dilakukan menjelang lebaran tetapi dengan niat yang berbeda. Jika sebelumnya sebagai symbol membersihkan dan menjernihkan hati dan pikiran agar bisa menjalani ibadah puasa dengan khusyuk, menjelang lebaran tradisi bersih-bersih bermakna Kembali suci.
Seluruh isi rumah dari lantai hingga atap dibersihkan. Atap yang memiliki sarang laba-laba dibebaskan dari sarang laba-laba dan lain sebagainya. Ini menandakan pemilik rumah siap menyambut tamu halal bihalal dengan hati bersih.
Membersihkan rumah tidak hanya bertujuan untuk menunjukkan kepada tamu kesiapan pemilik rumah, tetapi juga untuk menunjukkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, rasa syukur mendalam karena diberi kesempatan menyambut hari raya Idul Fitri dengan rumah yang bersih.
Umat Islam mempercayai bahwa tradisi bersih-bersih juga merupakan perwujudan dari iman. Hadist Riwayat tirmidzi, menyebutkan bahwasanya:
Baca Juga: Budaya Komentar di Media Sosial: Bicara Lantang, tapi Enggan Mendengar
”Sesungguhnya Allah Ta’ala adalah baik dan mencintai kebaikan, bersih dan mencintai kebersihan, mulia dan mencintai kemuliaan, dermawan dan mencintai kedermawanan. Maka bersihkanlah halaman rumahmu dan janganlah kamu menyerupai orang Yahudi.” (Lihat Imam al-Suyuthi, al-Jami’ al-Shaghir, I/70;)