Suara.com - Stres kronis dapat memperbesar risiko stroke pada orang dewasa muda, terutama pada wanita. Fakta itu terungkap dari sebuah penelitian terbaru yang dipublikasikan dalam jurnal Neurology pada 5 Maret 2025.
Para ahli telah lama memahami bahwa stres berdampak negatif pada sistem kardiovaskular. Studi terbaru menunjukkan bahwa stres juga dapat menjadi faktor risiko stroke yang semakin meningkat pada orang dewasa muda.
Namun, temuan ini menunjukkan bahwa dampak stres terhadap kesehatan jantung lebih signifikan pada perempuan dibandingkan laki-laki.
"Penelitian ini menegaskan bagaimana stres psikologis jangka panjang dapat mempengaruhi fungsi pembuluh darah, sehingga manajemen stres sangat penting dalam mencegah stroke," ujar Lauren Patrick, MD, asisten profesor neurologi sekaligus ahli saraf vaskular di University of California San Francisco, dikutip dari Antara, Senin (10/3/2025).
Para ilmuwan ingin memahami lebih dalam bagaimana stres berkaitan dengan stroke iskemik dini, jenis stroke yang paling umum terjadi akibat tersumbatnya aliran darah ke otak.
Penelitian sebelumnya telah mengidentifikasi beberapa faktor risiko stroke pada kelompok usia muda, termasuk faktor konvensional seperti tekanan darah tinggi dan konsumsi alkohol. Selain itu, ada faktor risiko lain yang kurang terdokumentasi dengan baik, salah satunya adalah stres.
Untuk mengkaji lebih lanjut hubungan antara stres dan stroke, peneliti melibatkan 426 orang berusia 18–49 tahun yang mengalami stroke iskemik, dengan hampir separuhnya adalah perempuan. Mereka juga melibatkan 426 orang lain sebagai kelompok kontrol yang tidak pernah mengalami stroke tetapi memiliki usia dan jenis kelamin yang sama.
Para peserta mengisi kuesioner mengenai tingkat stres yang mereka alami selama satu bulan terakhir. Kelompok yang mengalami stroke juga menjawab pertanyaan tambahan tentang stres yang mereka alami sebelum terserang stroke.
Dari hasil survei, ditemukan bahwa individu yang mengalami stroke memiliki tingkat stres yang jauh lebih tinggi dibandingkan mereka yang tidak mengalami stroke.
Sebanyak 46 persen dari kelompok stroke melaporkan tingkat stres sedang hingga tinggi, sedangkan pada kelompok kontrol hanya 33 persen yang melaporkan hal serupa.
Pada perempuan, individu dengan tingkat stres sedang berisiko 78 persen lebih tinggi mengalami stroke, sementara mereka yang memiliki stres tinggi memiliki risiko 6 persen lebih besar. Namun, peneliti tidak menemukan kaitan yang serupa antara stres dan stroke pada pria.
Para ahli menekankan bahwa hubungan antara stres dan stroke bersifat korelatif, bukan kausal.
"Studi kasus-kontrol seperti yang kami lakukan hanya dapat menunjukkan hubungan antara stres dan meningkatnya risiko stroke, tetapi tidak membuktikan bahwa stres secara langsung menyebabkan stroke," kata Nicolas Martinez-Majander, MD, PhD, seorang ahli saraf dan peneliti di Rumah Sakit Universitas Helsinki, Finlandia.
Selain itu, tingkat stres peserta dinilai setelah mereka mengalami stroke, yang berpotensi memunculkan bias ingatan.
"Meskipun demikian, perbedaan yang ditemukan antara laki-laki dan perempuan cukup signifikan," tambah Martinez-Majander.
Kenapa Stres Berpengaruh pada Sistem Kardiovaskular?
Martinez-Majander menjelaskan beberapa teori utama mengenai bagaimana stres dapat memengaruhi kesehatan kardiovaskular.
"Kaitan antara stres dan stroke kemungkinan besar melibatkan lonjakan tekanan darah akut dan berulang dalam jangka pendek, aritmia jantung akibat stres, serta peradangan kronis," ungkapnya.
Selain itu, individu yang mengalami stres cenderung melakukan kebiasaan yang berdampak negatif pada kesehatan jantung, seperti merokok, kurang berolahraga, pola makan yang buruk, serta konsumsi zat adiktif.
Meskipun stres mungkin bukan penyebab langsung stroke, Patrick menambahkan bahwa stres dapat memicu perubahan fisiologis yang meningkatkan risiko stroke. Oleh karena itu, paparan stres dalam jangka panjang dapat menjadi faktor risiko yang signifikan bagi kesehatan pembuluh darah.
Peneliti juga menduga bahwa perempuan lebih rentan mengalami stres kronis karena mereka sering menghadapi berbagai tuntutan dalam kehidupan sehari-hari, seperti pekerjaan, keluarga, dan tanggung jawab mengasuh anak.
Martinez-Majander berharap hasil penelitian ini dapat mendorong masyarakat untuk lebih memperhatikan tingkat stres mereka. Meskipun menghilangkan stres sepenuhnya tidak memungkinkan, mengelolanya dengan baik dapat membantu mengurangi risiko stroke.
Beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk mengelola stres dan menjaga kesehatan jantung antara lain:
- Mengenali Tanda-Tanda Stres
Perhatikan gejala stres seperti kecemasan yang berkelanjutan, kesulitan tidur, sakit kepala berulang, tekanan darah tinggi, serta kelelahan yang tidak wajar. Perubahan nafsu makan, kesulitan berkonsentrasi, gangguan pencernaan, atau nyeri tubuh juga dapat menjadi indikator stres yang harus diwaspadai.
- Mewaspadai Gejala Stroke
Kenali tanda-tanda stroke seperti mati rasa atau kelemahan tiba-tiba, gangguan berbicara, kehilangan keseimbangan, pusing, gangguan penglihatan, serta sakit kepala yang sangat hebat.
"Stres dapat memperburuk faktor risiko stroke yang sudah ada, sehingga penting untuk mengenali gejalanya sejak dini agar mendapatkan penanganan yang cepat dan tepat," jelas Patrick.
- Menjaga Pola Hidup Sehat
Prioritaskan olahraga secara teratur setidaknya 150 menit per minggu, sesuai rekomendasi CDC. erapkan praktik mindfulness, seperti meditasi, yoga, atau teknik pernapasan untuk mengurangi stres.
Aktivitas sederhana seperti berjalan-jalan dengan penuh kesadaran atau fokus saat memasak juga dapat membantu menenangkan pikiran.
- Mencari Bantuan Jika Diperlukan
Sadari kapan stres menjadi berlebihan dan sulit dikendalikan. Jika merasa stres berdampak buruk pada kesehatan, jangan ragu untuk berkonsultasi dengan dokter atau tenaga profesional.