Suara.com - Puncak Bogor sudah lama dikenal sebagai destinasi wisata favorit bagi warga Jakarta dan sekitarnya. Udara sejuk, pemandangan hijau, serta suasana yang tenang menjadi daya tarik utama kawasan ini.
Seiring waktu, fungsi Puncak bertransformasi dari tempat pengobatan menjadi lokasi liburan yang dikenal hingga kini. Pemandangan hijau perkebunan teh, udara segar, serta banyaknya vila dan hotel menjadikan Puncak sebagai destinasi healing yang populer.
Namun, perkembangan yang pesat juga membawa dampak lingkungan, termasuk kemacetan dan alih fungsi lahan yang tidak terkendali. Salah satu kasus terbaru adalah pembangunan objek wisata Hibisc Fantasy Puncak yang dinilai menyalahi aturan karena sebagian besar bangunannya belum memiliki izin lengkap.
Namun di samping masalah tata kelola lahan, tahukah kamu bahwa sejarah Puncak tidak lepas dari wabah penyakit yang pernah melanda Batavia?
Pelarian dari Wabah Penyakit
Sejarawan JJ Rizal mengungkapkan bahwa pada tahun 1730-an, Batavia dilanda wabah penyakit yang dikenal sebagai "demam maut" atau "mati mendadak."
Penyakit ini menyebabkan banyak korban jiwa, terutama di kalangan penduduk Eropa yang tinggal di kota tersebut. Akibatnya, kaum elite kolonial mencari tempat dengan udara lebih sehat untuk beristirahat dan memulihkan diri.
Pada tahun 1745, Gubernur Jenderal G.W. Baron van Imhoff membangun rumah peristirahatan di Kampung Baru, Bogor—kini dikenal sebagai Istana Bogor. Ia juga mengembangkan area pertanian serta fasilitas pengobatan alternatif seperti spa dan pemandian air panas di kawasan yang kemudian menjadi Puncak.
Jalan Daendels dan Perkebunan Teh
Baca Juga: Fakta Mengenai Tempat Wisata Hibisc Fantasy Puncak, Dibongkar Dedi Mulyadi padahal Baru Dibuka
Puncak semakin berkembang setelah Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels membangun Jalan Raya Pos (De Grote Postweg) pada awal abad ke-19. Jalur ini menghubungkan Anyer hingga Panarukan dan melewati kawasan Puncak, membuat akses ke daerah ini semakin mudah.