Suara.com - Kasus Pertamax oplosan menjadi salah satu mega korupsi terbesar di Indonesia. Bagaimana tidak, kerugian negara akibat kasus korupsi Pertamina ini mencapai Rp193,7 triliun. Kasus ini melibatkan para petinggi Pertamina, serta vendor broker pengadaan minyak yang menjadi mitra Pertamina.
Salah satu tersangkanya adalah Direktur Utama Pertamina Patra Niaga, Riva Siahaan. Ia diduga menjadi salah satu dalang yang mengoplos RON 90 (Pertalite) menjadi RON 92 (Pertamax) dalam rentang waktu 2018–2023.
Kasus ini langsung memicu amarah masyarakat karena baru terungkap sekarang. Lalu, bagaimana modus operandi para petinggi Pertamina dalam melakukan praktik oplosan Pertamina ini?
Modus operandi korupsi "Pertamax oplosan"
Baca Juga: Skandal Dugaan Pertamax Oplosan, Gaya Mewah Riva Siahaan Jadi Buah Bibir
Distribusi Pertamax oplosan ini terungkap dari hasil penyelidikan Kejaksaan Agung terhadap permainan curang yang dilakukan para petinggi Pertamina.
Dari hasil penyelidikan, modus korupsi ini dilakukan tersangka dengan menyatakan bahwa produksi minyak bumi dalam negeri berkurang. Menurut tersangka, hasil produksi tidak memenuhi nilai ekonomis, sehingga perlu melakukan impor bahan baku. Tersangka juga melakukan mark up kontrak pengiriman minyak impor.
Tak hanya itu, untuk mendapatkan keuntungan besar melalui distribusi minyak jadi, tersangka juga memasukkan minyak yang sudah diimpor ke gudang penyimpanan minyak di Merak, Banten.
Diduga, pengoplosan terjadi di gudang penyimpanan minyak dengan mencampurkan Pertalite RON 90. Alhasil, Pertamax yang seharusnya memiliki RON 92 murni justru tidak lagi memiliki angka RON yang ideal.
Makin miris, proses kecurangan ini dilakukan secara struktural oleh para petinggi dengan melibatkan orang-orang yang bertanggung jawab di lapangan. Hal ini membuat kasus semakin rumit dan membutuhkan waktu yang cukup lama untuk ditelusuri.
Baca Juga: Potret Para Tersangka Korupsi Tata Kelola Minyak Mentah yang Rugikan Negara Rp193,7 Triliun
Para petinggi Pertamina juga sengaja memenangkan broker minyak mentah dari perusahaan mitra mereka, yaitu PT Jenggala Maritim dan PT Navigator Khatulistiwa.
Tindakan melawan hukum ini merugikan negara hingga ratusan triliun rupiah. Para tersangka dijerat dengan pasal berlapis, yaitu Pasal 2 Ayat (1) juncto Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Kontributor : Dea Nabila