Profesor dan Dosen FISIP Unismuh Makassar Soroti Hiruk Pikuk UU Kejaksaan dan KUHAP

Vania Rossa Suara.Com
Selasa, 25 Februari 2025 | 19:35 WIB
Profesor dan Dosen FISIP Unismuh Makassar Soroti Hiruk Pikuk UU Kejaksaan dan KUHAP
Ahmad Junaedi Karso, Profesor dan Dosen FISIP Unismuh Makassar
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Perdebatan mengenai Undang-Undang Kejaksaan dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) terus bergulir di kalangan akademisi dan praktisi hukum. Tak terkecuali, profesor dan dosen asal Indramayu, Ahmad Junaedi Karso, turut memberikan sorotan terhadap hiruk pikuk yang terjadi.

“Suaranya membahana lebih dasyat suaranya dari bom atom di Hiroshima dan Nagasaki Jepang yang dijatuhkan oleh pasukan sekutu pada perang dunia ke-2. Itu hal yang biasa dalam demokrasi ini," ujar Ahmad Junaedi Karso, yang kerap disebut 'Wong Kampung Pemberhati Kepolisian dan KPK', Senin (25/2/2025).

Dikatakan bahwa revisi UU Kejaksaan dan KUHAP ini dapat memberikan "kewenangan kejaksaan superbody", serta "membunuh dan mengamputasi kewenangan Polri dan KPK".

Terdapat pasal dalam RUU KUHAP yang dinilai dapat menimbulkan kerancuan dalam sistem ini. RUU KUHAP menuai kritik, dan praktisi hukum khawatir kewenangan Jaksa yang berlebihan dapat mengancam independensi Polri.

Ada perubahan kewenangan Kejaksaan berdasarkan UU Nomor 16 Tahun 2004 yang telah diperluas melalui UU Nomor 11 Tahun 2021.

Pasal UU Kejaksaan dan RUU KUHAP dan Undang-Undang Kejaksaan yang Dinilai bukan hanya membunuh kewenangan Polri, namun membunuh kewenangan KPK.

Kepolisan - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terancam kehilangan sejumlah kewenangan, termasuk di antaranya menyita dan menyadap pembicaraan bahkan intelijen, di mana kewenangan itu harus mendapat izin hakim pemeriksa pendahuluan merujuk draf Revisi UU KUHAP yang kini dibahas di Komisi III DPR RI.

Beberapa pasal yang superbody dan membunuh kewenangan Polri-KPK di antaranya:

Pasal 8A ayat (1) UU Kejaksaan menyatakan: 'Dalam menjalankan tugasnya, Jaksa beserta anggota keluarganya wajib mendapatkan pelindungan diri dan pelindungan dari Negara dari ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan/atau harta benda'.

Baca Juga: 'Bubarkan' Kelas, Dosen FEB UI Serukan Mahasiswa Demo Indonesia Gelap: Napas Kita Harus Dilatih Lari Panjang!

Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sudah jelas dikatakan, semua warga negara berhak mendapatkan perlindungan dan persamaan di mata hukum (equality before the law). Artinya, jaksa juga sama. Kalau ada perbuatan menyimpang dari hukum, wajib pula mendapat sanksi hukum.

Pasal 8 ayat (5) Undang-Undang Kejaksaan Nomor 16 Tahun 2004 (UU Existing), disebutkan bahwa Jaksa yang diduga melakukan tindak pidana maka pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan dan penahanan terhadap jaksa yang bersangkutan hanya dapat dilakukan atas izin Jaksa Agung.

Pasal 8 ayat (5) RUU Kejaksaan disebutkan bahwa dalam hal melaksanakan tugas dan wewenangnya, pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan, penahanan Jaksa hanya dilakukan atas izin Jaksa Agung.

Pasal 12 Ayat 11 yang mengatur bahwa jika dalam waktu 14 hari polisi tidak menanggapi laporan masyarakat, maka masyarakat dapat langsung melaporkannya ke Kejaksaan. Pasal tersebut juga memberikan kewenangan kepada Jaksa untuk menerima laporan masyarakat secara langsung. Ini harus hati-hati. Dalam sistem peradilan pidana kita, kewenangan Polri sebagai penerima laporan sudah selaras, kecuali untuk tindak pidana khusus seperti korupsi di mana Kejaksaan memang memiliki kewenangan khusus dalam penyidikan.

Hal ini sangat bertentangan dengan KUHAP dan putusan Mahkamah Konstitusi. Kewenangan Jaksa untuk menyatakan sah tidaknya penangkapan dan penahanan ini merusak mekanisme yang sudah selaras. Ini dapat menimbulkan conflict of norms dan ketidakpastian hukum.

Perubahan kewenangan kejaksaan berdasarkan UU Nomor 16 Tahun 2004 yang telah diperluas melalui perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2021 ini. Dimana perubahan ini, termasuk kewenangan untuk melakukan penyadapan dan intelijen, menurutnya sudah cukup luas.

Ahmad Junaedi Karso yang merupakan dosen Ilmu Pemerintahan pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Universitas Muhammadiyah, Makassar, Sulawesi Selatan, mengatakan bahwa alasan apapun tidak dibenarkan selama UU yang dibuat oleh DPR terlalu pro kepada satu instansi penegak hukum (Kejaksaan).

"Karena pada hakekatny membunuh, mengamputasi kewenangan penegak hukum (Polri-KPK) tidak sesuai dengan pancasila sila ke-3, yaitu: “Persatuan Indonesia” dan Pasal 30 ayat (4) UUD 1945," ucapnya.

Ia menambahkan, "Keberadaan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan itu harus ditinjau ulang dan dikembalikan kepada Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang kejakasaan, karena bertentangan dengan asas-Asas Umum Pemerintahan yang baik tersebut menurut Pasal 10 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan," imbuh penerbit buku bersertifikat Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) dengan tema mengenai hukum dan pemerintahan itu.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI