Suara.com - Kasus kriminal yang melibatkan warga negara asing kembali terjadi di Bali. Pada Januari, seorang warga negara Ukraina diculik. Pelakunya diduga WNA dari Rusia.
Kini, seorang pria Australia berusia 27 tahun menjadi tersangka kasus penyerangan di sebuah klub di Bali. Ia adalah Mohamed Rifai yang telah ditetapkan sebagai tersangka.
Delapan petugas keamanan Finns Beach Club juga ditetapkan sebagai tersangka. Menurut polisi, Mohamed dan teman-temannya terlibat perkelahian dengan petugas keamanan.
Semua dipicu dari keributan dengan turis Singapura. Mereka diusir dari klub. Namun, justru terjadi perkelahian di area parkir.
Baca Juga: Kualitas Internet di Bali Meningkat, IONnetwork Dukung Digitalisasi di Berbagai Sektor
Insiden ini terekam dalam video. Tak butuh waktu lama, rekaman tersebut viral di media sosial.
Kelima warga Australia tak terima diusir. Mereka memukul petugas keamanan.
Petugas lain membalas. Bentrokan pun tak terhindarkan.
"Kelima korban mengalami luka-luka di beberapa bagian tubuh, terutama leher dan sekujur badan," kata Kapolda Bali Irjen Pol. Daniel Adityajaya.
Mohamed diduga memukul salah satu petugas hingga tak sadarkan diri. Korban mengalami luka di wajah dan kepala belakang.
Baca Juga: Mantan Presiden Brasil Jair Bolsonaro Resmi Didakwa Terkait Kerusuhan di Brasilia 2023
Jika terbukti bersalah, Mohamed terancam hukuman lima tahun penjara.
Menurut Aliansi Pelaku Pariwisata Marginal Bali (APPMB), insiden kriminal dan kekerasan yang melibatkan turis asing di Bali "nampaknya meningkat."
Ketua APPMB, I Wayan Puspa Negara, menyebut perkelahian kerap terjadi. Baik antar sesama turis, turis dengan petugas keamanan, maupun dengan warga lokal. Frekuensinya hampir setiap pekan.
Kekhawatiran serupa juga datang dari Wakil Menteri Pariwisata Indonesia. Kementerian mulai menyoroti tren ini.
"Kami di pusat sudah sangat khawatir. Kami ingin segera mencari solusi bersama, baik pusat maupun daerah," kata Ni Luh Puspa di Badung, pekan lalu, dikutip dari Antara.
Menurut Wayan, Bali harus diperlakukan sebagai destinasi internasional. Itu berarti, pengawasannya juga harus berstandar global.
Salah satu solusinya ialah mengembalikan polisi wisata dan honorary police. Program ini sempat terhenti sejak pandemi.
"Mereka bisa berbahasa Inggris, berpenampilan berbeda, serta bertugas memonitor dan mengawasi wisatawan. Dengan begitu, pertikaian antar turis bisa dikurangi," jelas Wayan kepada ABC Indonesia.
Selain itu, honorary police—turis atau polisi asing yang membantu pengawasan—bisa memahami budaya serta perilaku wisatawan dari negara masing-masing.
Bagi warga lokal, konflik yang melibatkan turis asing semakin mengkhawatirkan.
"Kita jangan hanya melihat pariwisata dari sisi pajak dan ekonomi. Dampaknya juga harus dipikirkan secara menyeluruh," tegas Wayan.
Ia menegaskan, Bali tidak menolak turis asing. Namun, screening perilaku mereka penting agar tetap menghormati norma dan budaya setempat.