Suara.com - Pola makan masyarakat Jepang memang patut dicontoh, termasuk saat bagaimana mereka menjalani program makan siang bergizi di sekolah melalui filosofi shokuiku.
Bukan hanya sekadar kenyang, menurut negara dengan angka harapan hidup tertinggi di dunia itu, pendidikan gizi memiliki peran penting dalam membentuk kebiasaan makan sehat bagi anak-anak.
Tak main-main bahkan program tersebut sudah berlangsung lebih dari satu abad yang lalu, yakni sejak sebelum Perang Dunia, tepatnya 1800-an di Prefektur Kanagawa.
Profesor Naomi Aiba, pakar gizi dari Department of Nutrition and Life Science Kanagawa Institute of Technology, menjelaskan, sejak diberlakukannya Undang-Undang Pendidikan Pangan pada tahun 2005 di Jepang, makan siang di sekolah bukan hanya sekadar waktu makan, tetapi juga menjadi sarana edukasi yang terstruktur.
Baca Juga: Badan Gizi Nasional Ngaku Ikut Kena Pemangkasan Anggaran, Program Makan Bergizi Gratis Terdampak?
Guru ahli gizi bekerja sama dengan para guru lain untuk memberikan pendidikan tentang gizi, keamanan pangan, serta membangun sikap positif terhadap makanan bagi siswa dan keluarga mereka.
Berikut bagaimana Jepang menjalani program makan siang bergizi di negaranya, yang dapat dicontoh oleh Indonesia yang baru saja memulai program tersebut melalui Makan Bergizi Gratis (MBG) di sekolah.
![Profesor Naomi Aiba, pakar gizi dari Department of Nutrition and Life Science Kanagawa Institute (Dok. Yakult)](https://media.suara.com/pictures/360x360/2025/02/14/43582-profesor-naomi-aiba-pakar-gizi-dari-department-of-nutrition-and-life-science-kanagawa-institute.jpg)
Peran Guru Ahli Gizi dalam Pendidikan Pangan
Di sekolah di Jepang, kata Naomi, terdapat guru ahli gizi yang memiliki sertifikasi sebagai pendidik sekaligus ahli gizi. Mereka ditunjuk oleh dewan pendidikan prefektur sesuai kebutuhan.
"Tugas mereka tidak hanya mengelola asupan nutrisi siswa, tetapi juga memastikan kebersihan dan keamanan makanan yang dikonsumsi," kata dia dalam acara Nutrisi dan Edukasi yang digelar Yakult, di Jakarta, Kamis (13/2/2025).
Baca Juga: Iklan MBG Berbasis AI dari Komdigi Menuai Kritik, Netizen: Kenapa Tak Gandeng Animator Lokal?
Manajemen makan siang di sekolah dikontrol dengan ketat untuk mencegah keracunan makanan. Selain itu, guru ahli gizi juga memberikan tiga jenis panduan utama kepada siswa, di antaranya panduan diet, dengan memberikan pemahaman tentang pola makan sehat.
Panduan nutrisi saat makan siang, yang membantu siswa memahami keseimbangan nutrisi dalam setiap menu makan siang. Serta panduan nutrisi sebagai individu, dengan memberikan edukasi tentang kebutuhan gizi berdasarkan usia dan kondisi tubuh masing-masing anak.
Dengan pendekatan ini, siswa tidak hanya mendapatkan makanan bergizi, tetapi juga memahami pentingnya menjaga pola makan yang sehat.
Makan Siang sebagai Bagian dari Pembelajaran
Di Jepang, waktu makan siang di sekolah berlangsung selama 45 menit, setara dengan mata pelajaran lain. Dalam durasi tersebut, anak-anak tidak hanya makan tetapi juga mengikuti serangkaian kegiatan, mulai dari persiapan, menikmati makanan, hingga merapikan peralatan dan membuang sampah.
"Sebelum makan, guru ahli gizi biasanya memberikan edukasi singkat tentang kandungan gizi dalam menu hari itu serta manfaatnya bagi tubuh. Proses ini membantu anak memahami apa yang mereka konsumsi dan mengapa makanan tersebut penting," jelas perempuan yang juga peneliti di Massachusetts Institute of Technology (MIT) itu.
Selain itu, manajemen gizi di sekolah dievaluasi melalui penelitian setiap lima tahun sekali untuk menyesuaikan standar gizi yang terbaik bagi anak-anak. Menu makan siang juga terus diperbarui dengan kombinasi makanan utama, lauk pauk, serta sup.
Bahan pangan yang digunakan berasal dari sumber lokal dan diproduksi di dalam negeri, sehingga lebih segar dan mendukung pertanian lokal.
Makan Bersama: Cara Efektif Membangun Kebiasaan Makan Sehat
Makan bersama teman-teman di sekolah memiliki banyak manfaat, salah satunya adalah mengurangi kebiasaan anak menjadi pemilih makanan (picky eater).
Dalam suasana yang menyenangkan, anak-anak lebih tertarik untuk mencoba berbagai jenis makanan, bahkan yang sebelumnya tidak mereka sukai. Mereka juga belajar meniru kebiasaan makan yang baik dari teman dan guru mereka.
Penting untuk memahami bahwa kenikmatan makanan tidak hanya bergantung pada rasa, tetapi juga aspek sosial dan sensorik.
"Saat makan, pancaindra bekerja secara bersamaan, melihat makanan, mencium aromanya, mencicipi rasanya, mendengar teksturnya, dan merasakan sensasi di lidah. Semua elemen ini berkontribusi terhadap pengalaman makan yang menyenangkan," kata Profesor di Kanagawa Insittiute itu.
Mendorong Kebiasaan Mengunyah yang Baik
Mengunyah makanan dengan baik, kata Naomi juga sangat penting untuk pencernaan dan kesehatan anak. Di beberapa sekolah di Jepang, diterapkan metode unik untuk membantu anak-anak mengunyah dengan benar, yaitu dengan memutar musik khusus selama makan siang.
"Musik ini mengatur ritme kunyahan mereka agar mencapai 30 hingga 60 kali kunyahan per suapan," pungas dia.
Sebuah eksperimen membuktikan bahwa kelompok siswa yang mendapat penjelasan tentang manfaat mengunyah dan didukung dengan musik khusus menunjukkan peningkatan ritme makan yang lebih baik dibandingkan kelompok yang tidak mendapat edukasi tambahan. Selain membantu pencernaan, kebiasaan ini juga terbukti mengurangi risiko obesitas.
Selain itu, anak-anak juga diajarkan untuk menyuap nasi, lauk, dan sayur secara berkesinambungan, bukan secara terpisah. Metode ini terbukti membantu mereka menghabiskan makanan dengan lebih mudah, sekaligus memastikan mereka mendapatkan nutrisi yang seimbang.
Kolaborasi Sekolah dan Keluarga dalam Pendidikan Gizi
Pendidikan gizi tidak berhenti di sekolah, tetapi harus diterapkan juga di rumah. Untuk itu, sekolah menyediakan buletin gizi dan mengirimkan daftar menu makan siang selama satu bulan kepada orang tua.
Ini menjadi sarana komunikasi antara sekolah dan keluarga, sehingga orang tua dapat memahami pentingnya pola makan sehat dan menerapkannya di rumah.
Dengan adanya kesinambungan antara sekolah dan rumah, anak-anak dapat membangun kebiasaan makan yang baik, tidak hanya di lingkungan sekolah tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari.
Inspirasi dari Jepang menjadi dasar bagi Indonesia dalam mengembangkan MBG
Dalam kesempatan yang sama, Nyoto Suwignyo, Deputi Bidang Promosi dan Kerja Sama Badan Gizi Nasional mengakui jika program MBG yang tengah dijalani di Indonesia bukanlah program yang mudah.
Berbeda dengan Jepang yang membutuhkan waktu puluhan hingga ratusan tahun untuk membangun sistem makan siang bergizi di sekolah, Indonesia menerapkan program ini secara langsung ke seluruh kelompok sasaran.
"Ini merupakan tantangan besar yang membutuhkan kesiapan dari berbagai aspek, termasuk regulasi, administrasi, dan infrastruktur," pungkas dia.
Namun, lanjut Nyoto, inspirasi dari Jepang bisa menjadi dasar bagi Indonesia dalam mengembangkan MBG. Meski begitu kata dia, pendekatan yang diambil bukanlah trial and error, melainkan trial and success, di mana setiap langkah harus menghasilkan solusi terbaik agar program ini berjalan efektif.
"Dari Prof Naomi Aiba kami dapatkan banyak hal, baik aspek hukum maupun edukasi. Apa yang beliau sampaikan sebagai pencerahan edukasi yang luar biasa yang tentu jadi perhatian bagi kami," tutup dia.