Sejarah Nyadran, Tradisi Jawa Menyambut Ramadhan yang Sarat Makna

Minggu, 09 Februari 2025 | 16:07 WIB
Sejarah Nyadran, Tradisi Jawa Menyambut Ramadhan yang Sarat Makna
Sejarah Nyadran (freepik)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Di wilayah Jawa ada tradisi Nyadran merupakan tradisi mengirim doa kepada leluhur menjelang bulan Ramadhan. Tradisi ini dilaksanakan di bulan syaban.

Mengupas tradisi dan sejarah Nyadran tak terlepas dari sejarah asimilasi masuknya Islam ke Indonesia. Berdasarkan buku Relasi Islam dan Buaya Lokal: Studi tentang Tradisi Nyadran di Desa Sumogawe Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang, ditulis oleh Kastolani dan Yusof disebutkan bahwa Nyadran merupakan budaya masyarakat Islam Jawa yang dilakukan menjelang ibadah puasa Ramadhan sejak jaman kuno.

Tradisi nyadran merupakan ritual yang diadaptasi dari budaya Hindu-Buddha yang sudah lebih dulu ada di Jawa. Pada masa Hindu-Buddha, masyarakat melaksanakan tradisi Craddha, yakni memberikan sesaji serta puji-pujian kepada leluhur.

Ketika Islam masuk ke Jawa disiarkan oleh Walisongo, terjadilah akulturasi tradisi Craddha menjadi Nyadran agar sesuai syariat Islam. Tradisi tersebut melakukan aktifitas yang intinya sama yakni menghautrkan doa-doa kepada leluhur yang telah meninggal dengan mendatangi makam. Doa-doa dipanjatkan secara berjamaah di area makam. Bila masa Hindu-Budha menggunakan mantra yang berlaku pada masanya, maka pada tradisi Nyadran, doa-doa yang dipanjatkan sesuai yang diajarkan dan ada dalam Al Qur'an.

Baca Juga: Apakah Valentine Haram? Menelaah Perayaan dari Perspektif Agama dan Budaya

Sementara itu berdasarkan laman Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta, istilah Nyadran berasal dari Bahasa Sanskerta Sraddha yang artinya keyakinan. Nyadran menjadi aktifitas budaya yang dijalankan oleh umat Islam, menjadi ritual yang diyakini dapat menyambung hubungan dengan leluhur masyarakat Jawa.

Adapun kegiatan Utama saat melaksanakan Nyadran adalah umat Islam mendatangi kuburan. Di pemakaman, mereka membersihkan area makam leluhur. Rumput-rumput dicabut. Masing-masing area makam sekitar leluhur disapu hingga bersih.

Sebelum membersihkan area makam keluarga, masyarakat akan bekerjasama untuk membersihkan area pemakaman yang lebih luas. Ketika area luas sudah dibersihkan, masing-masing mendatangi makam keluarga untuk membersihkan makam orang tua, nenek, kakek, dan anggota keluarga lain yang sudah meninggal. Selesai bersih-bersih makam, seorang Kyai akan memimpin doa, menghaturkan sesembahkan kepada para leluhur.

Prosesi pelaksanaan tradisi Nyadran berbeda-beda di setiap desa. Ada yang setelah selesai mengirim doa di pemakaman akan berbondong-bondng berkumpul di Balai Desa melaksanakan acara berikutnya.

Seperti yang terjadi di Desa Pandantoyo, Nganjuk. Dikutip dari syakal.iainkediri.ac.id, masyarakat di Desa Pandantoyo membuat makanan tradisional, buah-buahan, sampai nasi tumpeng. Semua itu kemudian dihias dengan janur. Kemudian diarak sampai ke makam. Makanan-makanan tersebut ditata di jalanan mengarah ke makam.

Baca Juga: Dulu Jarang Dimainkan STY, Striker Klub Liga 1 Ini Lagi Tajam-tajamnya Cocok Masuk Catatan Patrick Kluivert

Di makam, dilaksanakan upacara dengan sambutan dari kepala desa. Setelah itu dilanjutkan memanjatkan ooa-doa dipimpin oleh seorang pemimpin doa. Selesai mengirim doa, masyarakat makan bersama makanan yang tadi dibawa.

Selesai acara di pemakaman, masyarakat desa Kembali ke balai desa. Mereka melanjutkan acara. Masyarakat daerah itu biasanya mengadakan pertunjukan wayang, tari kuda lumping, dan lain sebagainya.

Demikian itu sejarah Nyadran dan model pelaksanaannya. Semoga bermanfaat untuk Anda.

Kontributor : Mutaya Saroh

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI