Suara.com - Film terbaru besutan Hanung Bramantyo mengangkat tema yang cukup unik dan menarik, yakni tentang tradisi Gowok. Film berjudul "Gowok: Javanese Kamasutra" ini diproduseri oleh Raam Punjabi dan kabarnya akan bersaing dengan 12 film mancanegara di Big Screen Competition, International Film Festival Rotterdam (IFFR).
Beberapa bintang yang turut memainkan peran dalam film ini antara lain Raihaanun, Lola Amaria, Alika Jantinia, Devano Danendra, Reza Rahardian, serta banyak aktor dan aktris berbakat lainnya.
Mengangkat tema yang cukup unik dan tidak biasa, tak sedikit pertanyaan muncul di benak publik usai membaca judul film yang satu ini. Apa sebenarnya makna dari tradisi Gowok ini? Simak penjelasannya berikut ini:
Asal Usul dan Makna Tradisi Gowok
Baca Juga: Sejarah Edukasi Seksual dalam Film Gowok-Javanese Kamasutra
Merangkum berbagai sumber, tradisi Gowok merupakan salah satu ragam budaya Indonesia berupa pengenalan pendidikan seks yang dilakukan masyarakat Jawa zaman dulu melalui seorang gowok. Istilah ini lahir sekitar abad ke-15 M.
Tradisi Gowok lahir untuk mengenak sesosok perempuan bernama Goo Wok Niang yang datang ke tanah Jawa di bawah Laksamana Cheng Ho bersama rombongan dari Tiongkok. Tradisi ini diartikan sebagai pemberian pelatihan kedewasaan kepada seorang laki-laki dewasa yang akan menikah.
Gowok sendiri merupakan sebutan untuk wanita dewasa yang dijadikan "tempat" bagi seorang anak lelaki untuk mengenal seluk beluk tubuh wanita, mulai dari bagian sensitif hingga taraf hubungan seks.
Seorang Gowok kerap dijadikan mentor edukasi seks melalui praktik sejak dini. Anak laki-laki yang sudah baligh akan dilatih oleh Gowok yang "disewa" pihak keluarga tentang berbagai pengetahuan seksual.
Dalam masa "latihan" atau biasa disebut "nyantrik" itu, seorang anak akan disuruh menginap selama beberapa hari (paling lama sepekan) bersama seorang Gowok. Usai dididik, biasanya sang anak laki-laki akan dianggap memiliki status sosial yang lebih tinggi serta jadi rebutan para wanita.
Namun, tradisi ini tidak hanya mengajarkan atau mendidik dengan berfokus pada persoalan nafsu semata. Meski tradisi ini bisa dibilang cukup vulgar, anak laki-laki juga diajari tentang semua dunia pernikahan dengan pasangannya masing-masing, termasuk untuk membangun rumah tangga yang ideal.
Belakangan ini tradisi Gowok memang sudah tidak sepopuler dulu karena jelas mendapat pertentangan sebab dianggap tidak sesuai dengan norma, bahkan dianggap sebagai perbuatan nista. Padahal dulunya tradisi ini menjadi salah satu pekerjaan yang diberi upah dan menjadi tradisi untuk menciptakan rumah tangga yang ideal bagi masyarakat Jawa Kuno.
Alasan lain mengapa tradisi ini kini tidak lagi dijadikan pekerjaan dan mulai hilang adalah karena dianggap bertentangan dengan norma masyarakat, apalagi dalam tradisi ini membiarkan seorang laki-laki dewasa yang siap untuk menikah tinggal bersama seorang perempuan dalam satu tempat. Sejak era 60-an tradisi ini mulai ditinggalkan.
Kontributor : Rizky Melinda