2. Rumitnya Prosedur Perceraian
Prosedur perceraian yang dianggap rumit dan mahal menjadi alasan lain mengapa pasangan memilih hidup bersama tanpa menikah.
Selain biaya perkara dan jasa pengacara, pembagian harta gono-gini serta hak asuh anak sering kali menjadi kendala besar bagi pasangan yang ingin berpisah.
Dalam konteks agama, terutama Kristen dan Katolik yang banyak dianut di Manado, perceraian juga dianggap sebagai sesuatu yang bertentangan dengan nilai-nilai keagamaan.
Hal ini mendorong pasangan untuk memilih kohabitasi, yang lebih fleksibel dan bebas dari komplikasi birokrasi pernikahan.
3. Penerimaan Sosial
Penerimaan sosial terhadap praktik kumpul kebo di beberapa daerah turut memperkuat tren ini. Di Manado, nilai budaya lokal lebih menempatkan hubungan individu di atas formalitas pernikahan. Faktor ekonomi yang seragam juga membuat masyarakat lebih toleran terhadap kohabitasi.
Rata-rata pasangan di Manado menjalani kumpul kebo selama tiga hingga lima tahun, sebelum akhirnya menikah. Biasanya, keputusan menikah diambil setelah memiliki anak atau saat menghadapi kebutuhan administratif tertentu, seperti mendaftarkan anak ke sekolah.
Dampak Negatif Kumpul Kebo
Meski terlihat sebagai solusi praktis, kohabitasi membawa sejumlah dampak negatif, terutama bagi perempuan dan anak. Ketidakadaan payung hukum sering kali membuat perempuan rentan secara ekonomi dan sosial.