Suara.com - Praktik kohabitasi atau kumpul kebo makin marak terjadi di berbagai kota besar Indonesia. Fenomena ini mengacu pada pasangan yang hidup bersama tanpa ikatan pernikahan yang sah.
Meski masih dianggap tabu oleh sebagian besar masyarakat, kumpul kebo kini menjadi pilihan bagi sejumlah pasangan muda.
Melansir The Conversation, generasi muda mulai memandang pernikahan sebagai institusi yang kompleks dan sarat regulasi. Sebaliknya, kumpul kebo dianggap sebagai hubungan yang lebih fleksibel dan mencerminkan kemurnian cinta.
Kumpul kebo terus mengalami peningkatan di berbagai wilayah Indonesia.
Berikut adalah tiga faktor utama yang mendorong meningkatnya praktik kumpul kebo di Indonesia, dikutip dari berbagai sumber.
1. Beban Finansial
Di beberapa wilayah, termasuk Manado, kohabitasi menjadi pilihan karena pasangan belum siap secara finansial untuk menikah.
Studi yang dilakukan oleh Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) pada tahun 2021 menunjukkan bahwa pasangan sering kali menunda pernikahan guna mengumpulkan biaya mahar yang tinggi.
Contohnya, salah satu responden di Manado menyebutkan bahwa ia harus menunggu hingga empat tahun agar pasangannya mampu mengumpulkan mahar sebesar Rp 50 juta.
Kondisi ini menunjukkan bahwa beban finansial menjadi alasan signifikan di balik keputusan pasangan untuk memilih kohabitasi.
2. Rumitnya Prosedur Perceraian
Prosedur perceraian yang dianggap rumit dan mahal menjadi alasan lain mengapa pasangan memilih hidup bersama tanpa menikah.
Selain biaya perkara dan jasa pengacara, pembagian harta gono-gini serta hak asuh anak sering kali menjadi kendala besar bagi pasangan yang ingin berpisah.
Dalam konteks agama, terutama Kristen dan Katolik yang banyak dianut di Manado, perceraian juga dianggap sebagai sesuatu yang bertentangan dengan nilai-nilai keagamaan.
Hal ini mendorong pasangan untuk memilih kohabitasi, yang lebih fleksibel dan bebas dari komplikasi birokrasi pernikahan.
3. Penerimaan Sosial
Penerimaan sosial terhadap praktik kumpul kebo di beberapa daerah turut memperkuat tren ini. Di Manado, nilai budaya lokal lebih menempatkan hubungan individu di atas formalitas pernikahan. Faktor ekonomi yang seragam juga membuat masyarakat lebih toleran terhadap kohabitasi.
Rata-rata pasangan di Manado menjalani kumpul kebo selama tiga hingga lima tahun, sebelum akhirnya menikah. Biasanya, keputusan menikah diambil setelah memiliki anak atau saat menghadapi kebutuhan administratif tertentu, seperti mendaftarkan anak ke sekolah.
Dampak Negatif Kumpul Kebo
Meski terlihat sebagai solusi praktis, kohabitasi membawa sejumlah dampak negatif, terutama bagi perempuan dan anak. Ketidakadaan payung hukum sering kali membuat perempuan rentan secara ekonomi dan sosial.
Anak-anak yang lahir dari hubungan ini juga menghadapi stigma sosial, yang dapat memengaruhi perkembangan emosional mereka.
Ketiadaan perlindungan hukum dalam kumpul kebo menciptakan tantangan besar, baik bagi pasangan maupun anak-anak yang terlibat.