Kupas Tuntas Upacara Tujuh Bulanan Adat Jawa dan Sunda, Apa Saja Bedanya?

Yasinta Rahmawati Suara.Com
Kamis, 09 Januari 2025 | 12:49 WIB
Kupas Tuntas Upacara Tujuh Bulanan Adat Jawa dan Sunda, Apa Saja Bedanya?
Potret Tasyakuran 7 bulan kehamilan Mahalini. [TikTok]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Acara tujuh bulanan yang digelar Rizky Febian untuk menyabut kelahiran anak pertamanya dengan Mahalini membuat publik salah fokus.

Publik kini mengamati unsur-unsur yang ada di acara tersebut dan penasaran apakah tujuh bulanan Mahalini mengikuti tradisi Sunda atau Jawa.

Pasalnya, ada banyak kesamaan antara prosesi tujuh bulanan di kedua budaya tersebut, namun juga ada beberapa perbedaan yang mendasar.

Mengamati unggahan Sule melalui Instagram pada Selasa (7/1/2025), dapat dilihat bahwa upacara tujuh bulanan sang menantu digelar dengan mengikuti kebudayaan Sunda.

Baca Juga: Intip Makeup hingga Outfit Mahalini di Acara Tujuh Bulanan, Aura Bumil Begitu Terpancar

Baik Rizky Febian, Mahalini, Sule, serta anggota keluarga lainnya mengenakkan pakaian tradisional masyarakat Sunda.

Selain pakaian tradisional yang dikenakan, apa perbedaan acara tujuh bulanan Sunda dan Jawa?

Denny Caknan dan Bella Bonita mitoni (instagram)
Denny Caknan dan Bella Bonita mitoni (instagram)

Masyarakat Jawa menyebutnya mitoni

Hal yang paling kentara dari acara tujuh bulanan Jawa adalah penyebutannya. Masyarakat Jawa menyebut upacara tujuh bulanan dengan istilah mitoni, yang diambil dari kata pitu atau tujuh.

Mengutip artikel dalam jurnal "Sabda : Jurnal Kajian Kebudayaan" yang ditulis oleh Titiek Suliyati, unsur-unsur dalam mitoni meliputi siraman, kegiatan memasukkan telur ayam ke kain oleh pasangan suami dan istri, upacara berganti pakaian, dan beberapa tindakan simbolis lainnya seperti melilitkan benang janur.

Baca Juga: Pakdhe atau Paklik? Sapaan Paman dalam Bahasa Jawa yang Filosofis Abis!

Upacara mitoni dilangsungkan dengan harapan bahwa bayi bisa lahir dengan selamat dan sehat. Seremoni ini juga dimaksudkan sebagai tolak bala alias menjauhkan bayi dari segala kuasa jahat yang mengancam dirinya.

Masyarakat Jawa mengenal konsep hari-hari baik, sehingga mitoni idealnya dilangsungkan pada Senin siang sampai malam atau hari Jumat siang hingga malam.

Mahalini saat acara 7 bulanan. (TikTok/randomrf2)
Mahalini saat acara 7 bulanan. (TikTok/randomrf2)

Disebut dengan tingkeban oleh masyarakat Sunda

Masyarakat Sunda di satu sisi mengenal upacara tujuh bulanan dengan istilah tingkeban.

Kata tingkeban diambil dari nama seorang wanita dalam kisah masyarakat Sunda. Wanita tersebut bernama Niken Satingkeb yang dinikahkan dengan bangsawan kerajaan Kediri bernama Sadiyo.

Konon menurut kisah tersebut, Niken Satingkeb telah susah payah membesarkan bayi sebanyak sembilan kali dan tak ada satupun yang selamat hingga dewasa.

Niken dan Sadiyo sontak meminta petuah dari seorang prabu atau tokoh spiritual untuk melangsungkan sebuah upacara.

Upacara tersebut meliputi siraman, memecahkan telur yang dimasukan ke dalam kain, dan membelah kelapa yang digambar dengan tokoh Kamajaya untuk bayi laki-laki dan Ratih untuk bayi perempuan (belah cengkir).

Tak jarang juga keluarga menyediakan sejumlah makanan simbolis seperti ayam ingkung, tumpeng, dan jajanan pasar yang dinikmati oleh tamu dan kerabat.

Setelah ibu hamil selesai dimandikan dan dirias, acara selanjutnya adalah upacara rujak kanistren, yakni rujak buah yang terdiri dari tujuh macam buah-buahan.

Ibu hamil akan menjual rujak kanistren tersebut kepada para tamu yang hadir. Upacara Tingkeban pun selesai setelah rujak habis terjual.

Kontributor : Armand Ilham

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI