Fakta Fenomena Kumpul Kebo di Indonesia, Paling Banyak di Wilayah Ini

Riki Chandra Suara.Com
Rabu, 08 Januari 2025 | 15:35 WIB
Fakta Fenomena Kumpul Kebo di Indonesia, Paling Banyak di Wilayah Ini
ilustrasi hubungan seks (freepik.com/freepik)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Fenomena kumpul kebo atau hidup bersama tanpa ikatan pernikahan kian marak di kalangan pasangan muda di Indonesia. Laporan The Conversation mengungkapkan bahwa pergeseran pandangan terhadap relasi dan pernikahan menjadi salah satu pemicunya.

Dikutip dari berbagai sumber, fenomena kumpul kebo memunculkan berbagai dampak, terutama pada perempuan dan anak. Saat ini, banyak anak muda yang memandang pernikahan sebagai hal normatif dengan aturan yang rumit.

Sebagai gantinya, mereka menganggap kumpul kebo sebagai bentuk hubungan yang lebih sederhana dan tulus. Namun, di Indonesia yang masih menjunjung tinggi budaya dan agama, kumpul kebo tetap menjadi isu tabu.

Studi tahun 2021 berjudul The Untold Story of Cohabitation menunjukkan bahwa fenomena kumpul kebo lebih banyak terjadi di wilayah Timur Indonesia, seperti Manado, Sulawesi Utara.

Menurut Yulinda Nurul Aini, peneliti ahli muda dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), ada tiga alasan utama pasangan di Manado memilih untuk kumpul kebo, yaitu beban finansial, prosedur perceraian yang rumit, dan penerimaan sosial.

“Hasil analisis saya terhadap data Pendataan Keluarga 2021 (PK21) menunjukkan bahwa 0,6 persen penduduk Manado melakukan kohabitasi. Dari total tersebut, 1,9 persen di antaranya sedang hamil, 24,3 persen berusia di bawah 30 tahun, dan 83,7 persen memiliki pendidikan SMA atau lebih rendah,” ungkap Yulinda, Minggu (5/1/2025).

Fenomena kumpul kebo memiliki dampak negatif yang signifikan, terutama pada perempuan dan anak. Dalam konteks ekonomi, perempuan dan anak tidak memiliki jaminan finansial seperti yang diatur dalam hukum perceraian.

Pasangan laki-laki dalam hubungan kohabitasi tidak memiliki kewajiban hukum untuk memberikan nafkah atau dukungan finansial.

“Ketika pasangan kohabitasi berpisah, tidak ada kerangka regulasi yang mengatur pembagian aset, hak asuh anak, dan masalah finansial lainnya,” jelas Yulinda.

Dari segi kesehatan, kumpul kebo dapat menyebabkan penurunan kepuasan hidup dan peningkatan masalah kesehatan mental. Minimnya komitmen dan ketidakpastian masa depan sering memicu konflik, mulai dari tegur sapa hingga kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Berdasarkan data PK21, 69,1 persen pasangan kohabitasi mengalami konflik, 0,62 persen pisah ranjang, dan 0,26 persen mengalami kekerasan.

Anak-anak yang lahir dari hubungan kumpul kebo juga menghadapi berbagai tantangan, seperti gangguan pertumbuhan, kesehatan, dan emosional. “Anak dapat mengalami kebingungan identitas dan stigma sosial karena dianggap sebagai ‘anak haram,’ bahkan dari keluarga mereka sendiri,” tambah Yulinda.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI