Suara.com - Gulai tikungan atau gultik kawasan Blok M, Jakarta Selatan tengah ramai diprotes warganet di platform X. Hal ini dikarenakan porsinya yang dinial terlalu sedikit, yakni sekitar 2-3 sendok makan untuk harga Rp15 ribu.
Banyak warganet yang mengaku bisa menghabiskan lebih dari dua porsi saat menyantap menu tersebut. Dengan begitu, pengeluaran yang seharusnya bisa sedikit malah menjadi lebih banyak dari perkiraan.
Atas dasar itu, asal-usul gultik khususnya yang berada di Blok M menuai rasa penasaran publik. Apakah porsi di tempat lain juga demikian? Cari tahu informasi selengkapnya melalui rangkuman berikut ini.
Asal-usul Gultik
Nama gultik disesuaikan dengan lokasi para pedagangnya yang berjualan di tikungan. Salah satu yang terkenal ada di sepanjang tikungan Bulungan Blok M, Jalan Mahakam. Lokasinya ini dekat dengan bundaran SMA Negeri 6.
Kawasan tersebut dulunya menjadi tempat nongkrong anak-anak muda yang mencari makanan enak dan murah. Meski ada di Jakarta, namun mayoritas pedagang gultik berasal dari daerah Sukoharjo, Jawa Tengah.
Awalnya mereka memang berjualan di Bulungan, namun berakhir pindah ke Mahakam. Para pedagang itu mengawali berjualan gultik pada akhir tahun 1980-an lalu mulai ramai sekitar awal 1990-an.
Adapun istilah gultik sendiri mulai populer di tahun 1997. Para pedagangnya memakai gerobak pikul dengan payung warna-warni. Di sepanjang trotoar, ada kursi dan meja untuk pengunjung yang ingin makan di tempat.
Gultik berisi potongan daging sapi dan tetelan yang disiram kuah santan encer. Cita rasanya mirip dengan gulai khas Solo yang bumbu kuahnya terdiri dari bawang merah, bawang putih, kunyit, jahe, lengkuas, hingga pala.
Baca Juga: 4 Rekomendasi Tempat Ngedate di Blok M: Dari Perpustakaan hingga Taman!

Biasanya, gultik disajikan bersama dalam satu piring dengan nasi hangat. Menu ini juga bisa dinikmati dengan tambahan sate jeroan dan kerupuk. Porsinya kecil, sehingga ada yang menyebut gultik adalah gulai setitik (sedikit).