Suara.com - Kasus dugaan kekerasan seksual yang melibatkan Duta Besar RI untuk Nigeria, Usra Hendra Harahap, mencuat ke publik setelah mantan pegawai Kedutaan Besar Indonesia di Abuja mengajukan petisi ke sejumlah otoritas.
Petisi yang diajukan melalui tim pengacara BOWYARD PARTNERS, menyoroti dugaan pelecehan seksual, intimidasi, dan pemutusan kerja sepihak yang dialami korban.
Dalam petisi bertajuk “Permohonan mendesak untuk dilakukan intervensi terhadap kasus kekerasan seksual, intimidasi, dan pemutusan kerja sepihak,” korban mengungkapkan dugaan kontak fisik tidak pantas oleh Duta Besar Usra saat korban bertugas di KBRI Abuja, Nigeria.
Kasus ini membuat korban mengalami trauma berat, memaksanya kembali ke Jakarta untuk mendapatkan konseling profesional dan dukungan moral.
Korban yang identitasnya dirahasiakan demi privasi dan keamanan, didiagnosis mengalami Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD) oleh psikolog Kementerian Luar Negeri RI. Selain PTSD, korban juga menderita depresi dan gangguan kecemasan akibat insiden ini.
Hasil konseling menunjukkan luka psikologis jangka panjang yang menyebabkan korban merasa menjadi target viktimisasi di tempat kerja. Hal ini termasuk pengawasan berlebihan, penilaian kinerja negatif, hingga pemutusan hubungan kerja yang dianggap tidak adil.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri RI, Roy Sumirat, pada Senin (30/12/2024), memastikan laporan korban telah ditindaklanjuti dengan serius sesuai ketentuan hukum yang berlaku.
“Kementerian Luar Negeri RI telah memberikan bantuan pendampingan psikolog untuk staf yang bersangkutan sambil terus melengkapi dan menindaklanjuti hasil laporan dimaksud,” ujar Roy kepada media.
Roy juga menegaskan bahwa Kementerian Luar Negeri RI mengingatkan seluruh pegawai untuk senantiasa mematuhi kode etik dan standar profesionalisme tinggi dalam menjalankan tugasnya. Perilaku yang melanggar prinsip etika diplomatik tidak akan ditoleransi.
Lantas, apa gejala dan bagaimana cara pengobatan PTSD?
PTSD atau gangguan stres pascatrauma adalah gangguan mental yang muncul setelah seseorang mengalami atau menyaksikan peristiwa traumatis. Gangguan ini seringkali memengaruhi kehidupan sehari-hari, baik dalam hubungan sosial maupun pekerjaan.
Mengutip dari laman resmi alodokter, PTSD dapat terjadi pada siapa saja, termasuk mereka yang pernah mengalami perang, kecelakaan, atau bencana alam.
Penderita PTSD kerap teringat kembali pada kejadian traumatis yang dialami, baik dalam bentuk mimpi buruk maupun flashback. Hal ini dapat menyebabkan tekanan emosional yang serius.
Faktor seperti kurangnya dukungan sosial, riwayat gangguan mental, dan pengalaman traumatis masa lalu dapat meningkatkan risiko seseorang terkena PTSD.
Gejala utama PTSD meliputi:
- Ingatan terhadap peristiwa traumatis, seperti mimpi buruk atau flashback.
- Kecenderungan untuk menghindar, termasuk menghindari tempat atau orang yang mengingatkan pada trauma.
- Pemikiran dan perasaan negatif, seperti menyalahkan diri sendiri atau merasa putus asa.
- Perubahan perilaku, seperti mudah marah, sulit tidur, atau kesulitan berkonsentrasi.
Pada anak-anak, gejala PTSD dapat muncul melalui permainan yang mereplikasi peristiwa traumatis atau ketakutan berlebihan untuk berpisah dari orang tua.
Belum diketahui secara pasti mengapa peristiwa tertentu menyebabkan PTSD pada sebagian orang. Namun, beberapa faktor yang berkontribusi meliputi:
- Pengalaman traumatis, seperti perang, kecelakaan, atau pelecehan seksual.
- Faktor genetika, seperti riwayat gangguan mental dalam keluarga.
- Kurangnya dukungan sosial, termasuk dari keluarga atau teman.
- Kondisi tertentu, seperti pekerjaan di zona konflik atau kecanduan alkohol.
Orang dengan risiko tinggi, seperti tentara atau pekerja medis di zona perang, memiliki kemungkinan lebih besar untuk mengalami PTSD.
Diagnosis PTSD dilakukan melalui evaluasi gejala dan riwayat kesehatan pasien. Gejala harus berlangsung lebih dari satu bulan dan mengganggu aktivitas sehari-hari agar dapat dikategorikan sebagai PTSD.
Pengobatan PTSD meliputi:
1. Psikoterapi
- Terapi perilaku kognitif untuk mengubah pola pikir negatif.
- Terapi eksposur untuk membantu menghadapi trauma.
- EMDR (Eye Movement Desensitization and Reprocessing) untuk mengelola ingatan traumatis.
2. Obat-obatan
- Antidepresan seperti sertraline dan paroxetine.
- Anticemas untuk meredakan kecemasan.
- Prazosin untuk mencegah mimpi buruk.
PTSD juga dapat menyebabkan komplikasi serius, seperti depresi, kecanduan alkohol, dan bahkan keinginan untuk bunuh diri jika tidak segera ditangani. Meskipun tidak dapat dicegah sepenuhnya, berbicara dengan terapis atau dokter setelah mengalami peristiwa traumatis dapat membantu mengurangi dampaknya.