Suara.com - Merayakan hari ibu termasuk salah satu cara memuliakan seorang ibu. Dalam ajaran agama Islam, memuliakan ibu dan orang tua merupakan perbuatan mulia yang disukai oleh Allah Swt. Lantas, bagaimana sebenarnya hukum merayakan hari ibu?
Hari ibu dirayakan pada 22 Desember setiap tahunnya. Menggelar suatu peringatan untuk merayakan hari ibu bisa menjadi sebuah acara untuk menyampaikan rasa saying kepada mereka. Terkadang kita malu menyampaikan rasa saying kita pada ibu di hari-hari biasa, karenanya Hari Ibu, 22 Desember bisa jadi momentum langka untuk kita menyampaikan rasa cinta dan sayang kita pada ibu.
Para ulama mengapresiasi adanya Hari Ibu ini. Meskipun demikian dalam Islam tidak ada perayaan yang disebut dengan merayakan hari ibu. Oleh karenanya, hukum merayakan hari ibu disebut beberapa ulama sebagai bid'ah, meski ada juga yang memperbolehkan.
Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penyusun Khalid Al-Juraisiy, Penerjemah Musthofa Aini Lc Penerbit Darul Haq, seorang ibu berhak untuk dihormati sepanjang tahun daripada hanya satu hari itu saja. Pandangan ulama dalam buku itu menyebut bahwa seorang ibu berhak dijaga dan ihormati serta dita'ati oleh anak-anaknya setiap saat selama bukan dalam kemaksiatan terhadap Allah Swt.
Baca Juga: BRI Beri Modal Usaha dan Pelatihan untuk 180 Ibu Pengrajin Batik di Hari Ibu
Mengenai perayaan, diterangkan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin bahwa semua perayaan yang bertentangan dengan hari raya yang di syariatkan alam Islam adalah bid'ah. Perayaan hari ibu tidak pernah dikenalkan pada masa para salafus shalih, bisa jadi perayaan itu berasal dari non muslim, sehingga muslim yang merayakannya bisa dianggap sebagai tasyabbuh (menyerupai) musuh-musuh Allah Swt.
Hari raya yang disyariatkan dalam Islam adalah Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha, serta hari raya mingguan yakni Hari Jumat. Selain hari-hari tersebut, idak ada hari raya lain dalam Islam. Semua hari raya selain itu ditolak dan bathil dalam hukum syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa membuat sesuatu yang baru dalam urusan kami (dalam Islam) yang tidak terdapat (tuntunan) padanya, maka ia tertolak.”
Yakni ditolak dan tidak diterima di sisi Allah. Dalam lafazh lainnya disebutkan,
Baca Juga: Di Balik Senyum Anak Istimewa: Perjuangan Ibu yang Menggetarkan Hati
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
” Barangsiapa yang melakukan suatu amal yang tidak kami perintahkan maka ia tertolak.”
Oleh karena itu ulama seperti Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin percaya bahwa umat Islam tidak boleh merayakannya.
Akan tetapi, ada beberapa ulama yang memperbolehkan seseorang untuk merayakan hari ibu dengan syarat tidak mengkultuskan hari ibu sebagai hari raya yang mengungguli hari raya Islam. Hal ini karena Allah Swt memerintahkan lansgsung umat-Nya untuk memuliakan ibu dan itu tertuang dalam Surah Luqman ayat 14, berbunyi:
وَوَصَّيْنَا ٱلْإِنسَٰنَ بِوَٰلِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُۥ وَهْنًا عَلَىٰ وَهْنٍ وَفِصَٰلُهُۥ فِى عَامَيْنِ أَنِ ٱشْكُرْ لِى وَلِوَٰلِدَيْكَ إِلَىَّ ٱلْمَصِيرُ
Wa waṣṣainal-insāna biwālidaīh, ḥamalat-hu ummuhụ wahnan 'alā wahniw wa fiṣāluhụ fī 'āmaini anisykur lī wa liwālidaīk, ilayyal-maṣīr
Artinya: "Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu."
Demikian itu hukum merayakan hari ibu. Semoga dapat dipahami.
Kontributor : Mutaya Saroh