Suara.com - Menteri Agama (Menag) Nasaruddin Umar menyoroti minimnya masjid di sejumlah kawasan elit di DKI Jakarta seperti Jalan Thamrin-Sudirman dan Pantai Indah Kapuk (PIK).
Hal ini disampaikan Nasaruddin Umar dalam Rapat Pleno V Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) IV MUI di Hotel Sahid, Jakarta Pusat, Rabu (18/12/2024).
"Kita berada di jalan Thamrin-Sudirman, ini segitiga emas, sekalian sepanjang Thamrin-Sudirman dan sepanjang Kuningan tidak ada masjid nongol di jalan," kata dia dikutip dari website mui.or.id.
Menurut Prof Nasar, Jalan Thamrin-Sudirman merupakan pusat metropolitan di negara yang penduduk muslimnya terbesar kedua di dunia.
Baca Juga: 7 Baju Perang Paling Ikonik Sepanjang Sejarah
"Mestinya kita jangan biarkan daerah Jakarta ini tidak ada masjidnya. Sekitar 1.000 hektare di Pantai Indah Kapuk (PIK) tidak ada suara azan," bebernya.
Prof Nasar bercerita pengalamannya ketika masuk PIK diperlihatkan sebuah rumah ibadah Budha yang begitu besar dan megahnya. Namun, kata dia, umat Islam setengah mati mencari tempat ibadah seperti masjid untuk salat di PIK.
"Jadi saya mengimbau kita semua (termasuk) MUI. Jangan pernah kita membiarkan space yang luas ini jangan sampe tidak ada simbol-simbol keislaman," ungkapnya.
Imam Besar Masjid Istiqlal ini menyampaikan, dirinya sudah berusaha untuk membangun masjid di PIK. Akhirnya, di lokasi tersebut akan dibangun kompleks syariah seluas 30 hektare.
"Kita sudah bangun mushola di lantai 4. Jadi kedengaran suara adzan. Sepanjang itu tadi, dibangun tulisan-tulisan asing China, tidak ada mushala, jadi saya minta dikawasan ini ada aktivitas keislaman," ujarnya.
Baca Juga: Digugat Imbas PSN PIK 2, Jokowi hingga Aguan Dituntut Ganti Rugi Rp612 Triliun
Sejarah PIK
Pantai Indah Kapuk atau PIK 1 adalah wilayah elit yang terletak di Jakarta Utara seluas 1.660 hektare. Selain berdiri rumah-rumah mewah, di kawasan ini juga dilengkapi berbagai fasilitas seperti pusat perbelanjaan, hotel, akses pendidikan, hiburan.
Dulunya sebelum menjelma menjadi kawasan elit, Pantai Indah Kapuk adalah hutan mangrove bernama Hutan Tegal Alur Angke Kapuk.
Di Hutan Angke Kapuk hidup 60 spesies tanaman, 2000 spesies binatang air dan darat, dari ikan belanak sampai buaya. Fungsi utama Hutan Angke Kapuk adalah untuk mencegah abrasi.
Hutan Angke Kapuk juga berfungsi menangkap partikel garam sehingga mencegah intrusi air laut ke daratan. Akar dari hutan bakau pun menyaring kotoran dr darat, sehingga perairan lepas pantai bebas pencemaran. Bakau bahkan bisa ambil unsur-unsur pencemar berat seperti air raksa.
Dikutip dari Rujak.org, pada tahun 1977, Hutan Tegal Alur Angke Kapuk ditetapkan sebagai hutan lindung dan sisanya untuk Hutan Wisata dan Pembibitan oleh Menteri Pertanian.
Tanggal 5 Januari 1982, Dirjen Kehutanan mengirimkan surat kepada PT Metropolitan Kencana (MK) milik kelompok Ciputra tentang upaya pengembangan kawasan Hutan Angke Kapuk.
Surat ini dibalas PT MK dengan menunjuk PT Mandala Permai (MP) sebagai pelaksana proyek pembangunan. Lalu pada tanggal 31 Juli 1982 itu, Dirjen Kehutanan mengeluarkan SK kepada PT MP yang memutuskan perubahan fungsi Hutan Angke menjadi tempat pemukiman, kondominium, pusat bisnis, rekreasi dan lapangan golf.
Proyek pembangunan di Hutan Angke Kapuk tersebut diperkuat dengan Surat Menteri Kehutanan tanggal 7 Maret 1984 tentang penyelesaian dan pengeluaran bekas penggarap Hutan Angke Kapuk.
Berdasarkan perjanjian antara Menhut dengan PT MP, sebanyak 831,63 ha dari 1.162,48 ha kawasan hutan Angke Kapuk diserahkan pengelolaannya kepada PT MP.
Rinciannya untuk permukiman 487,89 hektare; bangunan umum mulai dari hotel, cottage, dan bangunan komersial lainnya 93,35 hektare, rekreasi dan olah raga 169,13 hektare dan rekreasi air buatan 81,26 hektare.
Konon nilai proyek Pantai Indah Kapuk di tahun 1991 ditaksir sebesar Rp 6 triliun. Pada saat akan dibangun kawasan ini pada tahun 1992, proyek Pantai Indah Kapuk ditolak pemerintah karena masalah lingkungan.
Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup saat itu Emil Salim menerbitkan surat nomor B-655/Men.KLH./3/1992 kepada Pemerintah DKI Jakarta.
Surat tersebut berisi protes atas keberadaan PT Mandala Permai di PIK. Proyek pembangunan dinilai dapat merusak lingkungan yang dapat memicu kekeringan pada musim kemarau yang akan datang serta banjir dikala hujan melanda.
Pembangunan juga akan merusak kawasan hutan dan takut akan mengancam habitat hewan di sana. Meski begitu, proyek ini tetap terus dilanjutkan dan mengklaim bahwa pembangunan dilakukan akan terbebas dari ancaman kerusakan lingkungan.
Pada tahun 1998, krisis moneter sempat menghentikan proyek ini. Pada tahun 2003, Agung Sedayu Group dan Salim Group mengambil alih proyek yang terbengkalai tersebut. Kawasan ini kemudian berkembang menjadi salah satu lokasi hunian paling mahal di Jakarta.